Demonstran Budha di Myanmar melemparkan bom bensin untuk mencoba memblokir pengiriman bantuan kepada umat Islam di negara bagian Rakhine, di mana PBB menuduh militer melakukan pembersihan etnis, sebelum polisi melepaskan tembakan ke udara untuk membubarkan mereka.
Ratusan pemrotes terlibat dalam upaya untuk menghentikan pekerja Palang Merah yang memuat sebuah kapal dengan persediaan bantuan.
Insiden tersebut pada Rabu (20/9/2017) malam itu mencerminkan meningkatnya permusuhan komunal, dan datang saat Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyerukan segera mengakhiri kekerasan yang telah menimbulkan kekhawatiran tentang transisi Myanmar dari pemerintahan militer.
Pengiriman bantuan tersebut dikirim ke utara Negara Bagian Rakhine di mana serangan pejuang Rohingya pada 25 Agustus memicu sebuah serangan balik militer.
Kekerasan tersebut telah menyebabkan lebih dari 420.000 Muslim Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh namun masih banyak yang tinggal di Myanmar, yang bersembunyi dalam ketakutan dan tanpa makanan dan persediaan lainnya, kata pekerja bantuan.
Beberapa ratus orang Budha mencoba menghentikan sebuah kapal yang penuh dengan sekitar 50 ton bantuan di sebuah dermaga di ibukota Negara Bagian Rakhine, Sittwe, sebuah kantor informasi pemerintah mengatakan.
"Orang mengira bantuan itu hanya untuk orang Bengali," kata sekretaris pemerintah negara bagian tersebut, Tin Maung Swe, kepada Reuters, dengan menggunakan istilah yang merendahkan Rohingya.
Pengunjuk rasa, beberapa membawa tongkat dan jeruji logam, melemparkan bom bensin dan sekitar 200 polisi dipaksa untuk membubarkan mereka dengan menembak ke udara, kata sebuah saksi dan kantor informasi pemerintah. Saksi mengatakan bahwa dia melihat beberapa orang yang terluka.
Delapan orang ditahan, kata kantor informasi tersebut. Tidak ada pekerja bantuan yang terluka, kata juru bicara Komite Palang Merah Internasional (ICRC).
Sang juru bicara, Maria Cecilia Goin, mengatakan bahwa kerumunan telah mendekati kapal untuk meminta pekerja Palang Merah melakukan apa yang mereka lakukan.
"Semua dukungan darurat yang dilakukan oleh organisasi dan dalam gerakan dilakukan dengan cara yang netral dan tidak memihak," katanya, mengutip apa yang telah dikatakan para pekerja kepada kerumunan orang sebelum pihak berwenang melakukan intervensi.
Ketegangan antara mayoritas umat Budha dan Rohingya, yang sebagian besar ditolak kewarganegaraannya, telah mendidih selama beberapa dekade di Rakhine, namun telah meledak dalam beberapa kali kekerasan selama beberapa tahun terakhir, karena permusuhan lama muncul seiring dengan berakhirnya dekade kekuasaan militer.
Pertempuran berdarah terakhir dimulai pada bulan Agustus ketika pejuang Rohingya menyerang sekitar 30 pos polisi dan sebuah kamp tentara, menewaskan sekitar 12 orang.
Pemerintah Myanmar mengklaim lebih dari 400 orang, kebanyakan dari mereka pejuang Rohingya telah terbunuh sejak saat itu. Bagaimanapun, Muslim Rohingya yang selamat mengatakan jumlah yang tewas mencapai ribuan sementara menteri luar negeri Bangladesh lebih spesifik menyebut bahwa 3000 Muslim Rohingya telah dibunuh oleh militer Myanmar sejak itu.
Kelompok pemantau hak dan warga Rohingya yang melarikan diri mengatakan tentara dan warga Budha telah melakukan kampanye yang bertujuan mengusir penduduk Muslim dan membakar desa mereka.
Myanmar tidak mau mengakui laporan tersebut, dengan mengklaim bahwa pasukannya sedang menangani pemberontak Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) yang telah mereka tuduh melakukan pembakaran dan menyerang warga sipil
0 komentar:
Post a Comment