Apa urusannya media-media dan pengamat Asing menyoroti hasi sidang paripurna DPR yang mengesahkan UU Pilkada, Jumat (26/09) lalu. Ibarat paduan suara, nada mereka sama. Secara langsung bisa diterjemahkan bila mereka hendak melakukan intervensi terhadap kedaulatan politik dalam negeri Indonesia dan menunjukkan jati diri mereka sebagai pendukung Jokowi-JK.
Laman The New York Times misalnya, menyebut pengesahan UU Pilkada sebagai kemunduran dalam transisi demokrasi dan perebutan kekuasaan secara telanjang oleh elite politik. Sementara BBC dan The Guardian (Inggris), majalah Time (Amerika Serikat), serta The Sydney Morning Herald dan Brisbane Times (Australia), juga memberikan porsi cukup besar pada isu tersebut, seperti dimuat harian Kompas, Sabtu (27/09).
Laman majalah Time, harian The New York Times, dan The Sydney Morning Herald, tulis Kompas, mengangkat “reaksi keras” dan kemarahan “masyarakat Indonesia”, yang menyebut pengesahan UU ini sebagai kemunduran besar demokrasi Indonesia. Kesimpulan ini mereka dasarkan pada pernyataan-pernyataan Gubernur DKI Jakarta dan presiden terpilih Joko Widodo sebelum UU Pilkada itu disetujui dalam Sidang Paripurna DPR pada Jumat dini hari.
The Guardian mengutip blog yang ditulis Andrew Thornley, pakar pemilu Indonesia dari Asia Foundation. ”Sangat sulit untuk tidak melihat UU ini sebagai sebuah manuver politik untuk mengembalikan otoritas elektoral dari rakyat ke partai politik, pada saat kemenangan (rakyat) melalui pemilihan presiden langsung kemarin,” tulis Thornley.
Colin Brown, profesor kehormatan Universitas Griffith, Australia, dan pengajar politik Indonesia, kepada koresponden Kompas di Brisbane, Australia, Harry Bhaskara, mengatakan, UU yang baru disahkan itu sesuatu yang patut disayangkan.
Brown menilai UU itu sebagai langkah mundur bagi proses demokrasi Indonesia. Dia meyakini itu sebagai cara partai politik tertentu mencegah kemunculan orang-orang seperti Joko Widodo, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Brown meyakini UU tersebut akan menjadi ancaman besar terhadap pemerintahan baru Joko Widodo-Jusuf Kalla. Dengan dikembalikannya proses pilkada ke DPRD, parpol akan kembali mengambil kendali jalannya politik di Indonesia.
Adapun The Sydney Morning Herald mengutip menteri era Orde Baru, Sarwono Kusumaatmadja, yang menyebut UU itu hanya akan mengalihkan aliran politik uang kepada kelompok oligarki politik, sedangkan rakyat tetap menjadi korban.
Sebelum media-media Asing ini menyoroti tentang UU Pilkada dan berada di belakang Jokowi, jauh hari sebelumnya media-media nasional telah bersatu padu membangun opini untuk memenangkan Jokowi. Usaha media-media menjadikan Jokowi sebagai media darling ini dimulai sejak ada rencana Jokowi mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sejak saat itulah nyaris setiap hari ucapan, gerak gerik hingga “kebelet pipisnya” Jokowi menjadi headline di media-media online. Tak terkecuali berbagai program yang belakangan tidak ada yang terlaksana di puja puji pula di hampir seluruh media. Hingga kemudian 70 juta lebih rakyat negeri ini terperdaya oleh pesona palsunya.
Beredar di media-media sosial seperti Facebook dan Twitter sejak Jokowi mencalonkan diri sebagai presiden, ada banyak kelompok media mainstream yang menyokongnya.
Pertama, kelompok BeritaSatu Media Holdings yang meliputi Beritasatu TV, Beritasatu.com, Suara Pembaruan, Investor Daily, Majalah Investor, Jakarta Globe, Globe Asia, The Peak, Student Globe, Campus Life, dan Kemang Buzz.
BeritaSatu Media Holdings dimiliki bos Lippo Group James T Riady, seorang konglomerat keturunan China dan penganut Kristen Evangelis. James dan ayahnya, Mochtar Riyadi, merupakan sahabat baik bekas Presiden AS Bill Clinton sejak 1976 dan pernah terlibat dalam skandal Lippo Gate karena memberikan bantuan dana politik illegal kepada Clinton saat kampanye presiden AS. James menjadi konglomerat Indonesia yang mendapat denda USD 8.600.000; denda terbesar sepanjang sejarah Amerika karena kasus penipuan dan donor dana politik di Amerika.
Kedua, media online yang secara full mendukung Jokowi untuk pencitraan adalah Detikcom. Setiap harinya ratusan berita diproduksi portal berita online nomor satu di Indonesia ini untuk menaikkan citra dan pamor Jokowi. Sejak Jokowi naik menjadi Gubernur DKI Jakarta, Detikcom bahkan membuat semacam sub judul dalam berita-beritanya, hari kesekian. Sub judul itu tidak dimuat lagi setelah Jokowi memenangkan Pilpres.
Saham Detikcom dimiliki oleh Chairul Tanjung, pemilik CT Corp melalui anak usahanya PT Trans Corporation, sejak 3 Agustus 2011. CT membeli keseluruhan saham Detikcom dengan nilai US$60 juta atau Rp521-540 miliar. Beredar rumor CT hanya memutarkan uang milik pengusaha Antony Salim (Bos Salim Grup), namun anggapan ini dibantah CT dalam bukunya “Chairul Tanjung Si Anak Singkong.”
Ketiga, Kelompok Kompas Gramedia (KKG). KKG memiliki puluhan media, yang meliputi televisi, koran, majalah, tabloid, online, dan jaringan radio di seluruh Indonesia. Harian Kompas, misalnya, selama ini dikenal sebagai corong Katolik yang terus menerus memusuhi Islam dan melawan aspirasi umat Islam. Karena saking antinya terhadap Islam, Kompas sering kali diplesetkan menjadi Komando Pastor. Kompas, cikal bakal KKG, didirikan oleh PK Ojong dan Jacob Oetama pada 1965. Jacob kini menjabat Presiden Komisaris KKG.
Bukan hanya koran Kompas yang memusuhi aspirasi Islam, penerbit buku yang bernaung di bawah KKG dalam beberapa tahun belakangan setidaknya telah mengeluarkan dua judul buku yang menghina Islam. Buku pertama, ramai pada 2012 lalu, saat Gramedia menerbitkan buku karya seorang Pastor Rusia, Douglas Wilson, dengan judul “5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia.” Dalam buku itu disebut bila Nabi Muhammad Saw adalah seorang perampok. Buku kedua, komik berjudul "Why? Puberty Pubertas" yang diterbitkan Elex Media yang dinilai provokatif dan menjadi propaganda penyebaran perilaku Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).
Keempat, Jawa Pos Group. Kelompok ini dimiliki oleh Dahlan Iskan, Menteri BUMN era SBY. Di penghujung jabatannya, pada Pilpres April 2014 lalu, Dahlan yang sebelumnya maju dan menjadi pemenang Konvensi Capres dari Partai Demokrat akhirnya terang-terangan mendeklarasikan dukungannya untuk pasangan Jokowi-JK. Kelompok media Jawa Pos Group terdiri dari koran, tabloid, majalah dan televisi. Khusus koran, anak usaha Jawa Pos tersebar dari Aceh hingga Papua.
Kelima, Tempo Group (Majalah, koran dan online) adalah media pelopor yang mengorbitkan Jokowi dengan penghargaan “Tokoh Pilihan Tempo 2008”. Kesamaan agenda mengusung liberalisme manjadikan Tempo sebagai corong utama Jokowi. Tokoh Tempo, Goenawan Mohamad dan Bambang Harimurti, adalah bagian dari pengasong ideologi liberal di Indonesia. Goenawan sendiri melalui LSM yang dipimpinnya, Tifa Foundation, hingga kini terus mendistribusikan dana dari Amerika untuk kegiatan-kegiatan LSM di Indonesia untuk program-program demokratisasi dan liberalisme.
Sudah jamak diketahui bila Tempo anti Islam. Berulangkali pemberitaan Tempo memfitnah tokoh dan ormas Islam. Pada 2008 lalu, koran Tempo dalam cover story-nya memuat foto Panglima Komando Laskar Islam (KLI) Munarman yang ditulis mencekik anggota AKKBB dalam insiden Monas. Pada 2014 ini, majalah Tempo juga menurunkan laporan utama mengenai sertifikasi halal yang merupakan fitnah terhadap Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan LPPOM MUI.
Keenam, Media Group yang meliputi Metro TV, Media Indonesia, Lampung Post, Borneonews dan tabloid Prioritas. Metro TV adalah televisi utama yang menjadi corong Jokowi-JK saat kampanye pilpres 2014. Ini karena Partai NasDem yang didirikan Surya Paloh (Komisaris Utama Media Group) secara resmi berkoalisi dengan PDIP untuk mendukung Jokowi-JK. Sebelum digantikan oleh Putra Nababan, seorang Kristen putra politisi PDIP Panda Nababan, redaksi Metro TV pernah dipimpin seorang pendeta bernama Elman Saragih. Mundur dari Metro TV, Elman kemudian terjun ke Partai Nasdem. Tetapi dia gagal melaju ke Senayan.
Sikap phobia Metro TV terhadap Islam dan ormas Islam sudah lama sekali diketahui. Mencuat pada akhir 2012 lalu saat televisi ini menyebut Rohis sebagai sarang teroris. Seorang mantan wartawan Media Group, Edy A Effendi, melalui akun twitternya @eae18, saat itu langsung membeberkan bila di Metro TV terdapat diskriminasi dalam penerimaan wartawan. Hasil rekrutmen wartawan di Metro TV kebanyakan adalah non Muslim. Mantan penulis editorial Media Indonesia itu mengaku pernah menanyakan soal sikap diskriminatif itu kepada sejumlah pimpinannya, tetapi tidak digubris.
Raksasa media anti Islam inilah yang selama ini menyokong Jokowi sehingga masyarakat Indonesia, yang mayoritas Islam, benar-benar terpedaya dan kemudian memilihnya menjadi Presiden untuk periode lima tahun ke depan. [si]
0 komentar:
Post a Comment