GOENAWAN MOHAMAD: AHOK DIJAGA BETUL SAMA JOKOWI, 2019 JADI WAKIL PRESIDEN


Goenawan Soesatyo Mohamad (lahir di Batang, 29 Juli 1941; umur 75 tahun) adalah seorang budayawan Indonesia. Ia juga salah seorang pendiri Majalah Tempo.

Intelektual yang memiliki pandangan liberal dan terbuka ini salah satu pendukung Jokowi-Ahok.

"Ini Ahok dijaga betul sama Jokowi. Saya mengira, 2017 Ahok jadi gubernur lagi dan 2019 jadi wakil presiden," kata Goenawan saat diwawancarai media online Tirto.id baru-baru ini.

Baru beberapa hari ia melewati ulang tahun ke-75. Matanya agak cekung. "Saya baru bangun tidur dan masuk angin," kata Goenawan Mohamad sembari menyalami Tirto.id. Di balik punggungnya, ada gambar Joko Widodo berdiri menghadapi kerumunan pendukungnya, membentang melapisi dinding. Foto gigantik itu menjadi penanda Goenawan pernah sangat terlibat dalam momentum langka, saat seorang manusia yang bahkan tak terdengar namanya ketika rezim politik berganti, bisa mengepalai negara dan pemerintahan.

Tapi belum dua tahun sejak sukaria politik elektoral itu, Goenawan mendapati kemurungan. "Politik Indonesia kembali jadi permainan lama, tanpa inspirasi." Ia menulis itu pada akun Twitter-nya. Pada Tirto.id, ia mengaku kalimat itu tak hanya merujuk pada reshuffle kabinet Jokowi, tetapi juga terkait Ahok dan Teman Ahok.

Berikut ini kutipan wawancara Goenawan Mohamad dengaan Tirto.id yang dipublis pada 4 Agustus 2016.

Sekarang kita berbincang soal politik. Hari ini Anda bilang di Twitter bahwa politik Indonesia kembali jadi permainan lama, tanpa inspirasi. Anda kecewa kepada Jokowi atau Ahok yang dipandang sedang berkonflik dengan Tempo?

Di Twitter saya terus mendukung Ahok. Pertama, saya kan tidak ada hubungan dengan kebijakan redaksi Tempo. Kedua, Tempo tidak anti-Ahok. Ini kesalahan Ahok dan Teman Ahok sendiri. Mereka menganggap kalau mengkritik itu berarti anti. Di Tempo itu kebanyakan pendukung Ahok. Kalau besok ada pilkada diadakan di Tempo, Ahok akan menang.

Ahok lupa waktu kasus Rumah Sakit Sumber Waras, Tempo membela Ahok. Tempo mengatakan Ahok tidak salah. Tapi waktu disebut Ahok ada problem, Ahok marah. Jadi tidak fair, seolah bermusuhan. Padahal Tempo juga mengkritik Jokowi. Jangan melihat politik dengan cara seperti dulu: kalau mengkritik berarti memusuhi.

Mengapa Anda masih mendukung Ahok?

Siapa lagi? Jasanya banyak. Rumah saya nggak banjir lagi, bersih. Kalau macet memang sulit diatasi. Tapi banyak perbaikan dan korupsi minim banget. Sedihnya, politik jadi seperti pola lama. Pada Jokowi dan Ahok, partai jadi penentu. Transaksional. Tapi dalam pengalaman saya yang lama ini, politik itu soal mengelola harapan dan kekecewaan. Mula-mula mau perubahan, tapi begitu berkuasa ternyata tidak. Dikira hebat, tapi ternyata tidak.

Tapi tidak apa-apa. Mungkin orang menganggap akan tercapai sistem yang sempurna, itu nggak akan terjadi. Yang baik itu bukan yang sempurna, tapi sistem yang siap diperbaiki secara teratur dan damai. Orang selalu berlebihan mengelola harapan. Fanatisme Teman Ahok itu berbahaya. Bahaya bagi Ahok dan demokrasi. Tempo mengkritik malah dimusuhi.

Anda juga tampaknya kecewa kepada Jokowi. Apa karena Anies Baswedan diganti?

Saya kecewa dengan kabinet ini. Hari ini politik seperti kembali ke pola lama. Tapi kesenian menciptakan yang baru. Saya lebih senang.

Anda sejak lama selalu antusias dengan kaukus non-partai? Pernah mendukung Faisal Basri. Mendukung Ahok juga dengan alasan nonpartai. Mengapa bukan dengan memperbaiki partai?


Jangka lama [memperbaiki partai] bisa, jangka pendek nggak bisa. Ini [mendukung calon nonpartai] adalah cara untuk mengingatkan partai. Mereka tidak bisa memonopoli politik.

Politik sekarang tidak menarik lagi, sudah kembali seperti dulu. Saya mulai menjauh. Ahok masuk partai sebetulnya saya setuju, lewat PDIP saya menganjurkan. Tapi memang kalau lewat partai, jadi tidak ada yang baru. Jokowi harus melakukan itu [bernegosiasi dengan partai-partai].

Mengapa Anda kecewa Anies dicopot?

Jasanya banyak, ada [jasa] kepada Jokowi juga. Dan sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan dia maju sekali. Dia memulai dana penerjemahan untuk karya sastra, ada dana sastra untuk membantu sastrawan menyelesaikan karyanya. Di Indonesia baru Anies yang bikin.

Anda sudah menyampaikan kekecewaan terhadap Jokowi?

Buat apa, nggak ada gunanya kan?

Terhadap Ahok?

Sama Ahok masih komunikasi, saya bahkan kemarin mengundang Ahok kemarin untuk datang ke pementasan teater, tapi dia ada acara. Komunikasi saya lumayan sama dia. Ahok itu kan sebenarnya masalahnya tumbuh karena bertahun-tahun melawan korupsi. Orang yang berkelahi terus, lama-lama merasa lebih suci. Itu biasa. Kedua, pernah lihat rapat di Balai Kota? Cuma dia yang ngomong, nggak ada pegawai lain. Ini yang kurang benar. Dan untuk memperbaiki komunikasi, sudah dianjurkan untuk membuat konferensi pers, sebab wawancara door stop kan wartawan sering meleset. Dia katanya mau, tapi belum dilakukan.

Soal Tempo, Kurawa bilang Tempo mau cari modal dengan menyerang Ahok. Tempo memang dalam keadaan berat, tapi kan ada Jawa Pos. Saya kan presiden komisaris dua-duanya.

Saya itu termasuk yang kaget dengan berita Tempo. Di dalam Tempo, secara pribadi hampir semua pro-Ahok. Tapi kalau sudah ada data begitu kan susah, fakta itu suci. Hanya karena persabahatan dengan satu orang, nggak bisa data tidak dikeluarkan. Dan ini bukan dilema pertama. Waktu saya jadi jadi tim sukses Boediono, saya juga nggak pernah datang ke kantor Tempo. Saya harus lebih hati-hati. Apalagi soal Ahok.

Bagaimana Anda melihat 2019, apakah Anda akan mendukung Ahok, Anies, atau Sri Mulyani jadi presiden, atau Jokowi lagi?

Nggak mikir lagi, saya capek. Sudah biasa kecewa. Sudah biasa kecewa. Akhirnya Jokowi harus menghitung kekuatan. Dia sekarang sudah kuat, semua mendukung. Seharusnya bikin sesuatu yang baru. Jokowi itu rajin dan sangat rajin, kekurangannya kalau sudah punya sudut pandang, sulit berubah meski keliru.

Kereta api cepat itu kebijakan yang salah. Tapi nyatanya saya belum mau memusuhi, karena akan dimanfaatkan oleh musuh Jokowi. Pembencinya tidak adil. Orang-orang SBY termasuk di dalamnya, seolah-olah yang dikalahkan saat pemilihan presiden itu SBY. Prabowo malah diam saja. Ya, mungkin karena Jokowi sering menyalahkan rezim sebelumnya.

Kebaikannya Jokowi itu nggak culas. Tapi kekurangannya, makin lama dia makin sadar dia makin berkuasa. Itu bisa baik, tapi jeleknya bisa sewenang-wenang. Dia suka tergesa-gesa, kan? Jonan dicopot juga. Payah. Mungkin karena menentang kereta api cepat. Ya, memang menteri tidak boleh menentang presiden.

Anies layak jadi presiden?

Layak. Inspiring. Pintar ceramah. Yang lain juga layak. Ahok itu cacatnya tidak tahu komunikasi. Presiden harus bisa berkomunikasi. Ini Ahok dijaga betul sama Jokowi. Saya mengira, 2017 Ahok jadi gubernur lagi dan 2019 jadi wakil presiden. DKI nanti dipegang orang lain. Makanya PDIP seharusnya pasang orang untuk nanti gantikan Ahok.

Teman Ahok tidak mengerti bahwa politik itu jangan memperbanyak musuh. Ini bedanya dengan Relawan Jokowi. Kalau Relawan Jokowi dulu sadar bahwa Jokowi hampir kalah di pilpres, maka mereka merangkul semua. Ini Teman Ahok malah bikin musuh, dengan PDIP, dengan saya. Mereka berpeluang menang, jadi agak takabur, terlalu pede dan fanatik. [beritaislam24h.com / ppc] DVD MURATTAL
Share on Google Plus

About Muslimina

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment