Myanmar Skenariokan "Penghilangan" Rohingya?
Pemerintah Myanmar dituduh merekayasa serangan terhadap polisi penjaga perbatasannya sendiri agar dapat melancarkan operasi keamanan terhadap warga Muslim Rohingya, menurut kelompok perwakilan Rohingya kepada Anadolu Agency.
Hla Kyaw, ketua Dewan Rohingya Eropa (ERC), mengklaim, pembunuhan polisi di negara bagian Rakhine, 9 Oktober lalu, diatur oleh intelijen militer agar jadi alasan melakukan tindakan represif di sana.
"Departemen intelijen militer Myanmar secara tidak langsung mendukung sekelompok pemuda Rohingya putus asa yang membuat geng (militan) dan memanipulasi mereka agar menyerang pasukan keamanan...", kata Kyaw.
"Kami tidak mendukung kekerasan ini. Kami juga mengutuk pembunuhan ini", imbuhnya.
Kyaw mengatakan, penduduk desa setempat telah memperingatkan polisi tentang tujuan geng tersebut.
Namun polisi hanya diam saja tanpa melakukan upaya pencegahan apapun.
Ia menambahkan: "Jadi itu berarti pemerintah berada di belakang serangan itu untuk (alasan) pembenaran tindakan mereka terhadap Rohingya"
Selama operasi ini, PBB dan kelompok hak asasi mendapat bukti pelanggaran oleh pasukan keamanan seperti pembunuhan anak-anak dan bayi, pemerkosaan, pemukulan secara brutal, pembakaran desa-desa, dan penculikan.
Dewan HAM mengatakan, lebih dari 400 orang tewas dalam tindakan brutal, yang secara resmi baru berakhir pada 15 Februari.
Sekitar 400 perempuan dilaporkan diperkosa, termasuk anak-anak berusia 12 tahun. Serta sekitar 1.500 rumah dibakar, menurut Hla Kyaw.
Akibat operasi itu, setidaknya 93.000 orang mengungsi. Mayoritas melarikan diri ke Bangladesh, menurut badan kemanusiaan PBB.
Kyaw juga menuduh pemerintah Myanmar mengadu domba antara Muslim dan etnis Buddha di Rakhine, yang juga merasa terpinggirkan.
Lembaga ERC pimpinan Kyaw menyerukan intervensi internasional agar menghentikan "genosida oleh pemerintah".
Rohingya tidak diakuisebagai salah satu dari 135 kelompok etnis Myanmar, karena mereka dianggap Bengali (imigran ilegal dari Bangladesh).
Muslim Rohingya berjumlah sekitar 1 juta jiwa di negara bagian Rakhine.
Kyaw menjelaskan, mereka dianiaya karena tidak memiliki "warna kulit dan agama" yang sama dengan mayoritas masyarakat Myanmar.
Selain tindakan keras tahun lalubaru-baru ini, mereka telah mengalami tekanan di bawah junta militer Myanmar selama puluhan tahun.
"Mereka adalah orang-orang desa yang miskin. Hanya bekerja di ladang.. Mengapa mereka dibunuhi, rumah mereka dihancurkan?", tanyanya.
Meski cukup masuk akal, sayangnya belum ada bukti kuat yang diajukan untuk mendukung klaim ERC dan Hla Kyaw.
Sebelumnya, militer Myanmar membuat pembelaan diri atas tindakan keras mereka terhadap Rohingya di Rakhine.
Militer beralasan, operasi dilakukan untuk "membela negara" dan dinilai sah dijalankan. Pernyataan dikeluarkan pejabat militer pada konferensi pers, Selasa (27/2).
"Saya sangat sedih karena tuduhan sembrono ini, serta diabaikannya hal-hal baik yang pemerintah dan militer lakukan untuk mereka (Rohingya)", ujar Kepala Staf Umum, Jenderal Mya Tun Oo, mengacu pengakuan warga Rohingya terkait kebrutalan militer. (Anadolu Agency/rslh)
0 komentar:
Post a Comment