Republik Islam Gambia hadapi aksi protes oposisi sekuler
Kekuasaan Presiden Republik Islam Gambia, Yahya Jammeh, tengah mendapat ujian dalam sepekan belakangan, setelah kelompok sekuler melakukan unjuk rasa "menentang kediktatoran" sang presiden.
Lebih dari 30 pengunjuk rasa mendekam dalam tahanan selama hampir satu minggu setelah ditangkap karena melakukan aksi protes yang menuntut "kebebasan dan reformasi". Pihak berwenang Gambia dilaporkan telah melepas 15 orang lain.
Aparat keamanan negara kecil di barat Afrika itu melakukan penangkapan pertama pada aksi demonstrasi kecil di dekat ibukota Banjul, Kamis pekan lalu, dan dilanjutkan dengan gelombang kedua penangkapan para oposan pada hari Sabtu.
Menurut sumber Partai Persatuan Demokrasi (UDP), oposisi utama di negeri itu, setidaknya ada 50 orang pemrotes yang ditangkap.
Sementara PBB dan Amerika Serikat (AS) telah mengecam penangkapan itu sebagai reaksi yang sangat berlebihan pada aksi protes.
UDP juga mengkhawatirtan keselamatan tiga orang yang ditangkap, termasuk anggota penting partai, Solo Sandeng.
Pemerintah Republik Islam belum mengomentari tuduhan penangkapan itu. Serta belum ada konfirmasi kabar pelepasan pengunjuk rasa yang ditangkap atau adanya laporan kematian. Namun sumber polisi pekan lalu membenarkan adanya beberapa penangkapa,n namun tidak merinci jumlahnya.
Pemimpin UDP, Ousainou Darboe, dilaporkan termasuk diantara mereka yang masih ditahan. Pengacara Darboe, Antouman Gaye, telah mengajukan permintaan pembebasannya bersama anggota penting partai lainnya pada Mahkamah Agung.
Demonstrasi di Gambia merupakan bentuk pembangkangan yang jarang terjadi. Protes pekan lalu terjadi saat presiden Yahya Jammeh berada di Turki untuk menghadiri pertemuan puncak OKI.
Presiden Jammeh berhasil meraih kekuasaan dalam kudeta tahun 1994. Ia terus dikecam oleh Barat dan para aktivis HAM karena dituduh "melakukan berbagai kekejaman" di negara kecil ini, termasuk ancaman hukum penggal bagi tindakan kriminal homoseksual.
Desember tahun lalu, Jammeh mengumumkan Gambia sebagai "Republik Islam" dan berupaya menghapus sekulerisme hasil warisan era kolonialisme. Ia juga mencabut aturan pembatasan masa jabatan agar bisa memperpanjang kekuasaannya melalui pemilu mendatang.
Oposisi sekuler UDP menentang deklarasi Gambia sebagai "Republik Islam" dan menyebutnya telah melanggar konstitusi. Menurut UDP, yang berhak mengubah konstitusi Gambia adalah Majelis Nasional, dimana mereka tidak akan meloloskan kekuasaan tunggal atau adopsi agama dalam negara. (VOA/rslh)
0 komentar:
Post a Comment