Cara Kerja KPK Disebut Mirip CIA Tidak Sesuai Dengan Pancasila dan Melanggar HAM
JAKARTA. Cara kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai mirip seperti yang diterapkan CIA (Central Intelligence Agency) dalam mengusut kasus. Koordinator Indonesia Bersih (KIB) Adhie M Massardi yang bertindak sebagai pembicara dalam Dialektika Demokrasi Rabu, (2/8) mengatakan saat ini KPK menggunakan metode Enhanced Interrogation Techniques (EITs) layaknya CIA. Hal itu berdasarkan pengamatannya dari pengakuan saksi Niko Panji Titayasa dalam rapat Pansus Angket KPK beberapa hari lalu.
“Saya begitu mendengar pengakuan Miko (Miko Panji Tirtayasa) di Pansus itu saya bilang ini persis gaya-gaya CIA. Karena memang sebagian besar KPK juga dibina oleh Amerika,” ungkapnya dalam Dielektika Demokrasi dengan tema “Pansus KPK dan pemberantasan Korupsi” di Media Center Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/8).
Miko Panji Tirtayasa merupakan seorang saksi yang dipanggil oleh Pansus KPK. Di Pansus, Miko mengaku telah memberikan keterangan palsu saat memberikan keterangan pada sidang kasus suap sengketa Pilkada Kabupaten Empat Lawang dan Kota Palembang di Mahkamah Konstitusi yang melibatkan pamannya Muchtar Effendi dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar. Miko mengaku kesaksian palsu diberikan karena dirinya beserta keluarga telah diancam oleh oknum-oknum di KPK.
Indikasi lain bahwa cara kerja KPK sama dengan CIA, menurut Adhie adalah jika punya musuh, mereka selalu melakukan pembunuhan karakter. Hal itu untuk mendapatkan dukungan publik.
“Contoh Soekarno. CIA operasi bilang Soekarno tukang main perempuan, disebarkan kemana-mana akhirnya orang mengambil jarak. Ini terjadi di KPK, contoh misalkan LHI (Lutfi Hasan Ishaq), Akil Mochtar, terus kemarin Patrialis. Inikan teman-teman saya. Mula-mula nya misalkan LHI, perempuan-perempuan, Akil Mochtar tidak hanya perempuan tapi juga narkoba. Faktanya kan ga ada. Narkoba ga ada perempuan juga ga ada (kaitannya) dalam kasus korupsi ini,” jelasnya. Dilansir rmol.co
EITs adalah teknik interogasi yang memaksakan seseorang untuk mengatakan apa saja yang diinginkan dari mereka. Hal ini harus segera diungkap apakah metode EITs yang dipakai KPK ini merupakan inisiatif oknum atau perintah dari institusi KPK. Menurut Adhie, ini menjadi tugas bagi Pansus KPK dalam menyelidikinya.
“Kalau inisiatif oknum, pelakunya harus diproses secara hukum. Tapi kalau sudah mendapat otorisasi institusi (KPK), maka Presiden harus melarang praktek keji itu dilakukan KPK. Karena hal itu melanggar HAM dan sangat tidak cocok diterapkan di negara Pancasila,” kata Adhie.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Pansus KPK Masinton Pasaribu mengatakan tidak ada lembaga dimanapun yang tidak bisa diawasi, termasuk KPK. Sebagai lembaga negara, tentu harus mengutamakan prinsip transparansi dan kontrol. “Tidak ada lembaga di republik ini yang tidak diawasi dan anti kritik pula. Semua lembaga mengedepankan transparansi dan saling kontrol,” kata Masinton.
Oleh karenanya, kesan negatif tentang Pansus KPK yang dianggap melemahkan KPK harus segera dihentikan. “KPK dan para pendukungnya membangun opini negatif terhadap Pansus Angket KPK. Ini sangat luar biasa,” kata Masinton. Dilansir Republika.co.id
0 komentar:
Post a Comment