Syahadat Muhammad Ali di Ronde ke-7
Andai Muhammad Ali tak kehilangan sepeda BMX-nya, mungkin dunia tinju tidak akan melahirkan petinju terbaiknya. Kisahnya bermula ketika Ali masih berusia 12 tahun. Sepeda yang baru saja dibelikan orangtuanya, raib diambil pencuri. Siapa yang menduga, kejadian tersebut membuat Ali kecil berkenalan dengan dunia tinju yang kemudian digelutinya hingga menjadi juara dunia sejati.
Ya, setelah sepedanya hilang, Cassius Marcellus Clay, Jr,--nama lahir Ali—segera melapor ke Joe Martin, seorang polisi. Tak dinyana, Joe ternyata juga seorang pelatih tinju. Clay Jr kemudian diajarinya bertinju agar bisa memukul si pencuri. Clay begitu antusias berlatih.
Clay Jr giat berlatih tak cuma ingin menghajar si pencuri. “Mungkin juga karena aku ingin membalas perlakuan jahat teman-temanku yang berkulit putih,” katanya. Sejak kecil, Clay Jr sudah merasakan perbedaan perlakuan karena ia berkulit cokelat. Karunia Allah yang diberikan kepada Clay Jr berupa bakat serta otot yang kuat, membuat jalan ia menjadi petinju terkenal di dunia menjadi mudah.
Clay Jr memenangkan pertandingan tinju pertamanya saat masih berusia 12 tahun. Lawannya dikalahkan dengan angka tipis. “ Saya adalah yang terhebat. Saya akan menjadi juara dunia,” sesumbar Ali seusai pertandingan.
Enam tahun berselang, keahlian bertinju Clay Jr makin bertambah dengan keberhasilannya mengalahkan petinju-petinju tangguh di Olimpiade Roa, 1960. Anak dari Cassius Marcellus Clay, Sr, seorang pelukis papan iklan dan ibu Odessa Grady Clay seorang pencuci pakaian, itu meraih medail emas kelas berat ringan. Tak lama kemudian, ia memulai debutnya sebagai petinju profesional melawan Tunney Hunsaker. Clay Jr menang angka dalam pertarungan 6 ronde. Sejak itu, prestasi demi prestasi ia torehkan dalam buku sejarah tinju dunia.
Clay Jr, yang dilahirkan di Louisville, Kentucky, Amerika Seriktar, 17 Januari 1942, meraih gelar juara dunia kelas berat pertama kali dengan cara mengesankan. Ia mengalahkan Sonny Liston dengan TKO pada ronde 7 dari 15 ronde di Florida, AS, 25 Februari 1964. Liston mengalami cedera pada lehernya yang membuatnya mengundurkan diri dari pertandingan.
Padahal, saat itu Clay Jr menjadi underdog. Liston adalah petinju yang ditakuti karena memiliki pukulan yang sangat keras yang membuat lawannya bertumbangan di atas kanvas. Namun, Clay Jr tak gentar. Ia sesumbar sebelum pertandingan bahwa ia akan mengalahkan Liston.
Clay Jr memiliki cara unik sebelum bertanding melawan Liston. Ia mendatangi rumah tetangganya satu per satu. Ia ketok pintu setiap rumah yang disambanginya dan mengatakan bahwa dialah juara dunia sejati. Para tetangganya tentu saja heran. Clay Jr dianggap bercanda dan tidak waras.
Clay Jr menjadi juara dunia saat usianya masih 18 tahun. Jagat tinju dunia geger. Belum usai keterkejutan itu, tiba-tiba ia menghadirkan kisah lain: memproklamirkan diri masuk agama Islam. Clay Jr melakukannya sesaat setelah mengalahkan Liston, masih di atas ring, ketika peluhnya juga masih tersisa. Ia mengucapkan dua kalimat syahadat di antara tepuk riuh penonton, kilatan lampu kamera dan di depan jutaan penonton televisi di seluruh dunia. Ia mengumumkan nama barunya: Muhammad Ali. “Ini sesuai fitrahku sebagai manusia ciptaan Allah,” kata Ali saat ditanya alasan keputusannya memeluk Islam.
Pada 25 Mei 1965, Ali melakukan tanding ulang melawan Liston. Pertandingan tersebut penuh kontroversi. Pukulan Ali yang begitu cepat menimbulkan spekulasi di kalangan tinju yang menyebut pukulan Ali sebagai “phantom punch.” Pukulan itu begitu cepat, sehingga tidak tampak mengenai Liston yang roboh. Banyak isu yang berkembang, termasuk suap dan ancaman orang-orang Nation of Islam (organisasi yang menjadi tempat Ali bergabung setelah memeluk Islam) terhadap Liston dan keluarganya. Tapi Liston membantah semua itu dengan menyatakan pukulan Ali menghantamnya dengan keras.
Kontroversi kembali dilakukan Ali. Kali ini bukan di atas ring tinju. Ia menolak mengikuti wajib militer pemerintah AS dalam menghadapi Perang Vietnam. Keputusan itu membuatnya diskors oleh Komisi Tinju selama tiga tahun (1967-1970) dan gelarnya dicabut. Ali dijebloskan ke penjara. Ungkapannya yang terkenal dalam menolak wamil itu: “Saya tidak ada masalah dengan orang-orang Vietcong, dan tidak ada satu pun orang Vietcong yang memanggilku dengan sebutan Nigger!”
Tahun 1971, Ali bertanding melawan Joe Frazier di New York. Joe Frazier menang mutlak atas Muhammad Ali dalam pertarungan melelahkan selama 15 ronde. Joe, pemegang sabuk juara tiga versi badan tinju, bertarung menghadapi Ali, petinju tak terkalahkan. Pada ronde ke-11, Ali hampir saja roboh setelah terkena hook kiri Joe. Ali kalah mutlak 8-6-1, 9-6, dan 11-4. Itulah awal “trilogi maut.”
Pada 30 Oktober 1974, untuk kali kedua, Ali merebut gelar juara dunia kelas berat WBC dan WBA setelah mengalahkan George Foremen di Kinsasha, Zaire, pada ronde ke-8. Pertandingan itu dikenal sebagai “Rumble in the Jungle.” Ali saat itu tidak diunggulkan. Selain sebagai juara dunia, George Foreman memiliki rekor menawan: tak pernah kalah dalam 40 kali pertarungan. Selain itu, Foreman baru saja merobohkan Joe Frazier dan Ken Norton, masing-masing pada ronde kedua.
Setahun kemudian, pertandingan mengesankan lainnya dilakukan Ali pada1 Oktober 1975. Presiden Ferdinand Marcos memboyong pertandingan Ali vs Fraizer III ke kota Manila, Filipina. Publik menamai pertarungan tersebut “Thrilla in Manila.” Ali menang TKO pada ronde ke-14 dalam pertandingan yang sangat seru dan menegangkan, bahkan disebut sebagai salah satu “pertandingan tinju terbaik abad ini.”
Frazier yang kelelahan akhirnya menyerah dan tidak mau melanjutkan pertandingan pada istirahat menjelang ronde ke-15. Setelah itu, saat akan wawancara dengan televisi, Ali terjatuh karena kehabisan tenaga. Setelah istirahat beberapa menit, wawancara bisa dilakukan, tapi Ali harus duduk di bangku karena sudah kehabisan tenaga.”Frazier adalah petinju terhebat yang pernah saya hadapi,” kata Ali.
Sejarah kembali dibuat Ali pada 15 September 1978 ketika ia mengalahkan Leon Spinks dengan angka dalam 15 ronde di New Orleans. Ali mengukuhkan diri sebagai petinju pertama yang merebut gelar juara kelas berat sebanyak 3 kali. Satu tahun kemudian, Ali menyatakan mundur dari ring tinju dan gelar juara dunia dinyatakan kosong.
Pada 2 Oktober 1980: Ali kembali ke ring tinju. Ia melawan bekas kawan latih tandingnya, Larry Holmes, yang telah menjadi juara dunia kelas berat dalam pertandingan yang diberi judul “The Last Hurrah.” Dalam pertandingan yang berat sebelah, Ali tidak mampu berkutik, sedang Holmes tampak tidak tega “menghabisi” Ali yang tak berdaya. Ali menyerah dan mengundurkan diri pada ronde ke-11. Holmes dinyatakan menang TKO.
Disebutkan dalam laporan medis yang dilakukan di Mayo Clinic, sebelum pertandingan, Ali dinyatakan menderita gejala sindrom Parkinson seperti tangan yang gemetar, bicara yang mulai lamban, serta ada indikasi bahwa ada kerusakan pada selaput (membran) di otak. Namun Don King sang promotor tinju merahasiakan hasil medis itu, dan pertandingan Ali vs Holmes tetap berlangsung.
Sebelum pertandingan melawan Larry Holmes itu, Dr Ferdie Pacheco, dokter pribadi yang telah mendampingi Ali selama puluhan tahun, dengan terpaksa mengundurkan diri karena Ali tidak mau mendengarkan nasehatnya untuk menolak pertandingan melawan Holmes. Dalam salah satu buku biografi Ali, Pacheco mengemukakan bahwa selama latihan, Ali sempat kencing darah akibat kerusakan ginjal terkena pukulan. Ia juga mengemukakan bahwa Ali sudah memiliki gejala sindrom Parkinson sejak sebelum pertandingan. Setelah pertandingan tersebut, dilakukan cek medis ulang, dan hasilnya menguatkan hasil sebelumnya.
Meski telah mengidap gejala Parkinson, Ali tetap ingin bertanding lagi. Pada 11 Desember 1981, Ali yang sudah uzur, mencoba kembali ke dunia tinju melawan Trevor Berbick di Bahama dalam pertandingan yang diberi tajuk “Drama in Bahama.” Dalam kondisi renta, Ali mampu tampil lebih bagus daripada saat melawan Holmes, walaupun akhirnya kalah angka 10 ronde. Setelah pertandingan itu, Ali benar-benar pensiun dari dunia tinju.
Ali, yang dinobatkan sebagai “Petinju Terbesar Abad Ini” oleh BBC pada 1999, sempat datang ke Indonesia pada 20 Oktober 1973. Ali bertarung melawan, Rudi Lubbers, selama 12 ronde dalam pertandingan kelas berat tanpa gelar di Istora Senayan, Jakarta. Oleh publik dan pers Indonesia, pertandingan Ali vs Lubbers disebutkan sebagai pertandingan eksibisi, namun nyatanya ini adalah pertandingan resmi, walau tidak memperebutkan gelar. Terakhir, Ali menginjakkan kaki di Indonesia pada 23 Oktober 1996.”Sebuah negara yang unik, di mana penduduknya sangat bersahabat dan selalu tersenyum kepada siapa pun,” kesan Ali.
Kini Ali tak bisa lagi menari-nari, seperti yang kerap ia lakukan saat bertanding.
“Kejarlah saya, saya menari, saya menari. Coba ikuti saya,” ujar Ali kepada setiap lawannya.
Parkinson menggerogoti tubuhnya sejak 1986. Meski penyakit itu belum ada obatnya, Ali tidak mau menyerah. Ia bahkan sempat tampil sebagai pembawa obor saat Olimpiade Atlanta pada 1996. Saat itu, jutaan penonton televisi harus menahan haru melihat Ali yang perkasa berjuang keras mengatasi getaran di tangannya untuk menyulut obor Olimpiade. Dan ia berhasil.
Erwyn Kurniawan
0 komentar:
Post a Comment