Kisah 'Indiana Jones' Nyata, Masuk Islam & Kuak Kota Kuno Petra
Patung dada Johann Ludwig Burckhardt dipajang di kaki tangga istana keluarganya di Basel, Swiss. Sulit dipercaya bangunan megah itu adalah rumah keluarganya, tak cocok dengan tampilan pria itu yang berjengot lebat panjang dan mengenakan sorban.
Kehidupan Burckhardt bagai kisah petualangan Indiana Jones yang mengejawantah di dunia nyata. Dia adalah salah satu penjelajah ulung pada masanya.
Seperti dimuat situs media Prancis, Le Temp, yang dilansir WorldCrunch (28/1/2013), di tahun 1812, Burckhardt menemukan reruntuhan Petra, sebuah kota kuno yang dipahat dari bebatuan berwarna merah, yang terlupakan selama hampir 1.000 tahun, membeku di tengah gurun Yordania.
Burckhardt, juga dikenal dengan nama Sheikh Ibrahim, meninggal di usia relatif muda, 33 tahun pada 1817, akibat disentri di Kairo. Ia tak pernah bisa menuntaskan niatnya mengeksplorasi Nigeria, apalagi pulang ke kampung halamannya di Swiss. Untuk menceritakan kisahnya secara langsung, termasuk kontroversi soal keyakinannya.
Di Museum Antik Brusel, pameran bertajuk “Petra, Splendor of the Desert” yang digelar baru-baru ini kembali mengingatkan tentang peran penting Burckhardt dalam sejarah. Juga ikut dipajang, 150 obyek arkeologis yang ditemukan baru-baru ini di Petra.
Masuk Islam
Setelah belajar di universitas di Leipzig dan Gottingen, Burckhardt pergi ke Inggris, untuk bergabung dengan African Association, organisasi Inggris yang bertekad mengalahkan Prancis dalam hal pengungkapan misteri di Benua Afrika, sekaligus harta karunnya.
Di Inggris Raya, tepatnya di Cambridge, ia menyiapkan petualangannya ke Afrika. Burckhardt belajar Bahasa Arab dan kebudayaan Timur Tengah.
Pada tahun 1809, petualangannya dimulai. Burckhardt meninggalkan Inggris, menuju Malta. Kepada orang yang baru ditemuinya, ia memperkenalkan diri sebagai Sheikh Ibrahim bin Abdullah. Dia menjelaskan dalam tulisan-tulisannya bahwa ia menyaru sebagai pedagang muslim dari India, sebagai alasan bagi aksen dan Bahasa Arabnya yang tak sempurna. Saat diminta bicara Bahasa Hindi, ia kerap berpura-pura, menggunakan dialek Jerman.
Burckhardt lalu menuju Aleppo, Suriah, Juli 1809, di mana ia tinggal dua tahun untuk menyempurnakan Bahasa Arabnya. Ia juga mempelajari Kitab Suci Alquran.
Kepada orangtuanya ia menulis," Aku tak yakin kalian akan mengenaliku, jika melihatku duduk di lantai dengan jubah Turki dan berjanggut tebal."
Selama petualangannya, ia bersikap penuh hati-hati, ia mengisolasi diri dari orang lain dan membuat catatan di balik kain tuniknya, dan menyembunyikan buku catatan di sorbannya.
Menemukan Petra
Pada tahun 1812, Burckhardt meninggalkan Aleppo, menuju Damaskus dan Kairo. Bepergian tanpa peta, ia nekat mencoba menemukan situs kuno yang nama dan data letaknya sudah ia hapal benar.
Agustus tahun yang sama, ia mengaku bahwa ia ingin berkurban kambing di Gunung Harun -- yang ia andaikan ada di sekitar kota Nabath, Petra, yang dibangun ahun 312 Sebelum Masehi. Diantar pemandu, ia menuju ke sana.
Dalam bukunya "Voyage to Syria, Palestine, and region of Mount Sinai", ia juga menulis tentang petualangannya melintasi celah sempit di antara tebing selama 30 menit. Ia juga tak leluasa mengeksplorasi istana dan makam kuno yang ditemui, khawatir pemandunya curiga -- bisa-bisa ia dianggap sebagai perampok, atau yang terburuk, praktisi ilmu hitam.
Pada tanggal 22 Agustus 1812, saat berusia 27 tahun, Burckhardt akhirnya berhasil menemukan Petra,
yang tersembunyi diantara bebatuan dan tebing bertingkat.
Dia lalu kembali ke Kairo pada September 1812, untuk memulai petualangan baru. Dua kali ia melakukan perjalanan ke Gurun Nubia. Di sana, pada tahun 1984, ia menemukan secara kebetulan kolom monumental Kuil Abu Simbel -- situs arkeologi yang terdiri dari dua kuil batu di selatan Mesir, peninggalan Firaun Ramses II. Meski di masa kini, situs itu luar biasa terkenal, Burckhardt hanya membahasnya sedikit dalam tulisannya. Ia lebih menyoroti soal budaya dan kehidupan sosial penduduk di sekitarnya.
Pergi ke Kota Suci Mekah
Burckhardt juga merupakan orang Eropa pertama yang masuk dan mendeskripsikan Kota Suci Mekah. Ia masuk dengan menyamar sebagai pengemis, juga hakim lokal -- dengan modal pengetahuannya yang luas soal hukum Alquran.
Sebuah hal yang sangat berisiko untuk orang Eropa kala itu -- sekaligus membuat orang bertanya-tanya, apakah ia memeluk Islam secara tulus atau pura-pura demi petualangannya. Apalagi, sejauh korespondensinya dengan keluarganya, ia tak pernah menyinggung soal keyakinan.
Ketika tutup usia, Burckhardt dimakamkan dengan tata cara Islam di sebuah pemakaman di Bab el-Nasr, salah satu kawasan padat di Kairo, Mesir. Nama Sheikh Ibrahim tertulis di nisannya.
Seperti dimuat BBC, lepas dari aksi penyamarannya, ada sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa Burckhardt memeluk Islam secara tulus, meski keluarganya selalu menyangkal.
Pada tahun 1991, Burckhardt dianugerahi penghargaan Order of the Independence, penghargaan tertinggi yang diberikan pemerintah Yordania.(Ein)
0 komentar:
Post a Comment