Misteri di Balik Tongkat Imam Syafi’i
Laki-laki bernama asli Muhammad bin Idris ini merupakan salah satu permata zaman. Kaum Muslimin dan ulamanya memberikan gelar kepada laki-laki kelahiran Gaza Palestina ini dengan nashiru as-sunnah, penolong sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Sosok sederhana ini merupakan teladan di berbagai bidang kehidupan; baik ilmu, ibadah, dan aspek lainnya termasuk dalam hal menjalani kehidupan sehari-hari layaknya seorang Muslim yang baik.
Imam Syafi’i merupakan pendiri salah satu madzhab fiqih yang paling banyak dianut oleh kaum Muslimin. Madzhab yang dinamai Syafi’iyah ini juga menjadi mayoritas di negeri ini, Indonesia tercinta. Alhasil, nama sang imam benar-benar lekat dan akrab di hati kaum Muslimin.
Imam Syafi’i juga merupakan penulis yang sangat produktif melahirkan karya. Al-Umm, misalnya merupakan salah satu karya utama yang ditulis sebagai perwujudan bakti dan cinta sang imam kepada ibunya. Ibu merupakan sosok yang sangat perhatian dan mendukung penuh sang imam saat menuntut ilmu hingga menjadi ulama besar.
Banyak hikmah dan teladan dari Imam Syafi’i Rahimahullahu Ta’ala. Dalam hal merantau, syair beliau amat terkenal. Dalam hal ilmu, nasihat beliau juga aplikatif. Dalam soal rahasia hafalan al-Qur’an dan hafalan lainnya, beliau juga pakarnya.
Ada pula satu rahasia yang-mungkin saja-belum diketahui oleh sebagian besar kita. Rupanya, Imam Syafi’i ini terbiasa menggunakan tongkat. Padahal, fisik beliau sangat kuat. Mampu membidik sasaran menggunakan panah dari atas kuda yang sedang berlari dengan cepat.
Lantaran keanehan itu, seseorang bertanya kepada beliau, “Untuk apa engkau menggunakan tongkat, padahal umurmu masih sangat muda dan badanmu sangat kuat?”
Maka sang imam yang hafal al-Qur’an di usia tujuh tahun dan diizinkan mengeluarkan fatwa di usia lima belas tahun ini menyampaikan jawaban, “Agar senantiasa menjadi pengingat bagi diri, bahwa aku hanya seorang musafir yang sedang mampir. Mampir untuk mengabdi, tidak tinggal untuk selamanya.”
Tongkat bagi beliau bukan sekadar kayu. Bukan sekadar penopang jalan atau untuk bergaya. Bagi laki-laki surgawi yang menjadi teladan kesabaran dalam menuntut ilmu ini, tongkat pun dijadikan sarana untuk mengingat kematian, agar diri tidak lalai dan terbuai dengan dunia.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]
0 komentar:
Post a Comment