Abu Jahal Modern, Media Binal dan Dagelan Warteg
Oleh:
Rudi Agung (Pemerhati Masalah Sosial)
Abu Jahal Amru bin Hisyam namanya. Sejarah mengabadikannya sebagai sosok yang paling getol mencoba membunuh Rasulullah. Namun sampai ia dijemput ajal, upaya pembunuhan terhadap Rasul selalu gagal. Tokoh Kafir Quraisy ini juga paling depan memusuhi Islam dan kebenaran. Kejamnya di luar kemanusiaan.
Semisal, di awal-awal perkembangan Islam, Abu Jahal membunuh Sumayyah. Caranya, kemaluannya ditancap tombak. Sumayyah menjadi wanita pertama dalam Islam yang mati syahid. Kekejian Abu Jahal tak sampai di situ. Yasir, suami Sumayyah juga dibunuh. Kepalanya dihantam batu besar sampai meninggal dunia seketika.
Belum puas. Beberapa kali menghadang orang-orang untuk masuk Islam. Menyiksanya, merampas hartanya, membunuhnya. Bencinya setengah mati pada Islam dan kebenaran. Namun, sebetulnya ia pengecut. Ketika ditampar Sayyidatinaa Fatimah Az Zahra, putri Rasulullah, ia diam. Abu Jahal Bungkam. Tak bereaksi apa-apa.
Dirinya hanya berani menjadi provokator. Berjalan keliling menemui pembesar-pembesar Quraisy, menyebarkan kebencian pada hal-hal berbau Islam. Memutar balik fakta. Menolak agama. Menebar dendam dan fitnah pada Islam. Lidahnya tajam. Tubuhnya digunakan untuk hal-hal yang kejam. Jiwanya kelam. Allah telah menutup hatinya.
Apapun tentang Islam dan kebenaran, selalu ditolaknya. Ia pun kesal upaya membunuh Rasul selalu gagal. Saat berhadapan dengan Rasulullah, nyalinya ciut. Kecut. Beraninya dari belakang. Memprovokasi, mengadu domba, memecah. Itu terjadi sampai akhirnya kematian mengenaskan menjemputnya. La haula wala quwatta illa billah. Sebaik-baik makar adalah makar Allah.
Zaman sekarang, sepertinya, kita sering menemui sosok-sosok yang sifatnya serupa Abu Jahal. Bahkan, kejinya lebih fenomenal. Tak cukup keji pada satu kelompok, tapi pada seisi bangsa.
Merampok kekayaan alam, menebar dusta demi dusta, janji demi janji, menggasak kekayaan negara, memanipulasi keadilan hukum, memiskinkan rakyat, dan kekejian sejenisnya. Barangkali koruptor, penguasa lalim dan lingkarannya bisa disematkan oleh rakyat sebagai sosok yang kedengkian dan kekejamannya seolah Abu Jahal. Bahkan, lebih keji.
Dalam analogi lain, ada pula Abu Jahal intelektual. Perannya sama, beda tekniknya. Sama-sama menyebarkan kebencian pada Islam dan kebenaran, memutar balik fakta, memfitnah, memprovokasi, mengadu domba. Mereka bukan lagi personal. Tapi berkelompok. Bergerak sistemik dengan kekuatan modal yang besar.
Kebencian pada Islam dan standar gandanya disebar bukan dari mulut. Melainkan dari media-media corong penguasa. Saya mengistilahkannya sebagai media binal. Kenapa binal? Menurut situs resmi KBBI, binal berarti liar.
Bisa juga diartikan sebagai bengal akibat kurang perhatian. Selalu hendak lari dan sebagainya. Sejak reformasi, sampai puncaknya Pilgub DKI 2012 dan Pilpres 2014, media-media di Indonesia jauh dari kata sehat. Bendera setengah tiang menyelimuti insan Pers Indonesia.
Media saat ini bukan lagi sebagai watch dog atau anjing pengawas. Melainkan seperti berperan sebagai guard dog (anjing penjaga), lap dog (anjing penjilat), circus dog (anjing sirkus), stupid dog (anjing bodoh).
Pers sehat pasti mengambil posisi sebagai watch dog. Sedangkan empat kategori lain sudah masuk kategori pembantu pemerintah. Sejak pers perjuangan beralih jadi pers industri, rakyat seolah semakin diracuni.
Desain pemenangan Jokowi dari Pilgub DKI sampai menuju RI 1, membuat bangsa ini tersekat-sekat. Agenda setting pengkerdilan dan penghinaan terhadap Islam dimuntahkan dengan sangat kuat. Senjatanya: HAM, SARA, dan toleransi standar ganda.
Menutup kebusukan cukong pemodalnya dengan mengadu domba seisi bangsa. Dengan apa? Paling mudah dengan isu agama. Islam sasarannya. Agama, ajaran, tokoh, dan hal-hal berbau Islam dibunuh karakternya. Menutup kejahatan dan kebusukan konglo pemodalnya.
Sampai hari ini jawara koruptor di Indonesia tetap dipegang non-Muslim dan Cina. Lihat saja kasus BLBI dan kasus-kasus jumbo lain. Lihat saja daftar buronan koruptor kakap, Edy Tansil Cs dkk. Mereka didominasi non-Muslim. Kabur merampok kekayaan negara, lalu dibela. Kasus mereka semua ditutup. Justru Islam dan tokohnya dikerdilkan. Diputar balikan.
Sampai-sampai sudah lagi tak peduli tatanan yang sudah ajeg berpuluh tahun, dijungkirbalikan seenaknya. Warteg dagelan disetting untuk menangis, seolah terdzalimi agar bisa dimainkan dengan menjijikan dan keji.
Duka lara dan jerit jiwa korban penggusuran Kampung Pulo, Kali Jodo, Luar Batang, dan daerah lain; dianggap biang kerok. Mereka yang jumlahnya lebih banyak, disetting kalah didzalimi dengan seorang pemilik warteg demi membalikan tatanan yang sudah ajeg. Begitulah peranan para Abu Jahal intelektual.
Sering pula para Abu Jahal intelektual melontarkan isu perpecahan. Menarik orang-orang yang terjebak permainannya. Dibantu buzzer-buzzer sosial media. Siapa terlena, terkena jebakannya.
Akhirnya keresahan sosial mengemuka. Begitu seterusnya. Tapi mungkin Abu Jahal intelektual putus asa. Memancing kemarahan umat Islam bertubi-tubi, tapi umat tidak melayani. Ah, patut sekali kita kasihani. Maklumi saja, oplah mereka usai pilpres terus anjlok. Merosot tajam.
Tugas media seperti yang ada dalam satu 'Kitab Suci' Pers berjudul: Sembilan Elemen Jurnalisme, karangan Bill Kovach dan Tom R, hanya mereka simpan dalam kepala. Ya, media pemecah belah itu telah mengkerdilkan media dan insan Pers. Kode Etik Jurnalistik dihafal hanya sebagai teori.
Sekali lagi, media seperti itu sepatutnya kita kasihani. Mencari perhatian, uang, dan popularitas medianya dengan mengkerdilkan diri. Memberi makan anak istri dengan menyebarkan berita-berita yang bikin kita mengelus dada. Mengubah tatanan lama yang ajeg dengan mengkerdilkan agama dan merusak budaya. Memantik konflik horizontal tapi selalu gagal.
Berita dagelan warteg, penghapusan perda memang berhasil bikin gaduh. Lalu, seperti biasa dibuat lagi klaim pembenaran. Tidak ada perda syariat yang dihapus. Kasus-kasus ini selalu berulang. Dari dagelan teroris, penghapusan doa di sekolah, pengosongan kolom agama di KTP, sampai pemutar balikan sejarah PKI. Dibikin gaduh, test the water, lalu klaim tidak benar apa yang disebut media.
Kerjasama penguasa dan media binal, menegaskan: rezim ini hanya bekerja membuat gaduh, perpecahan, keresahan, dan kesengsaraan. Sekaligus menabrak aturan dan merusak tata kelola negara dengan pola kolusi dan nepotisme demi menyelamatkan kebusukan masing-masing. Maklum, mereka saling sandera.
Kita sekarang dibawa kembali ke era Ali Moertopo atau LB Moerdani. Isu-isu gaduh dan pengkerdilan Islam dikencengkan untuk menutup kejahatan dan kegagalan sosok-sosok Abu Jahal modern yang didukung media-media binal.
Media binal tidak lagi memberi alternatif solusi multikompleks masalah bangsa, para Abu Jahal intelektual malah menebar kebencian pada agama. Islam utamanya. Membelah bambu yang lama sudah bersatu.
Memainkan propaganda, mengadu domba. Namun, mereka lupa: umat Islam Indonesia punya sabar tiada tara. Upaya memantik konflik horizontal selalu mental. Sejak 1998 dicoba, tetap saja gagal.
Karya mereka hanya berhasil meruntuhkan Orba dan mengamendemen UUD 1945 sebanyak empat kali. Teriak kencang UUD 45, tapi yang digunakan UUD 2002. Hasilnya: tata kelola negara rusak, budaya ketimuran kita diacak-acak, kekayaan negara digasak, rakyat dikotak-kotak.
Mereka tahu, garda terdepan bangsa ini adalah umat Islam. Maka, ketika nanti ada berita-berita serupa yang mengkerdilkan Islam atau upaya memantik konflik horisontal, cukup tiga hal yang patut kita lakukan:
Pertama, jangan pernah percaya media mereka apalagi menjadikannya viral. Kedua, kita tertawakan. Ketiga, kita kasihani. Meladeni permainan mereka apalagi menyebarkannya secara viral hanya menambah keresahan sosial.
Kerugian lain bagi masyarakat: menambah jumlah pengunjung media mereka dan oplahnya. Aiih, rugi! Cukup kita abaikan dan tertawakan. Apalagi saat ini sudah ada gerakan pemboikotan terhadap media binal pembuat keresahan sosial.
Oplah media cetak mereka ambrol, media televisinya diboikot, sedang pengunjung media onlinenya turun drastis. Apalagi kini mulai menjamur media-media baru dan media Islam. Tak heran media-media Islam jadi incaran, sampai sempat diblokir dengan alasan menggelikan.
Mereka kesal oplahnya anjlok. Jadi wajar mereka menjadi liar dan binal karena kurang perhatian. Maka abaikan saja bila Abu Jahal intelektual masih terus mendongkrak rating medianya dengan menebar kebencian pada Islam.
Sebagai anak-anak bangsa: kita semua punya tugas utama menjaga persatuan dan kedamaian. Negeri ini jangan sampai terbelah-belah. Tahan amarah. Biarkan saja ulah rezim dzalim ini mau berbuat apa, yakin saja kelak akan dijungkirbalikan dengan tangan-tangan Nya.
Mereka membuat tipu daya. Tapi lupa, sebaik-baik tipu daya adalah tipu daya Sang Kuasa. Hal penting: jangan mau terpancing upaya-upaya propaganda media binal. Jangan terbawa permainan binal yang berujung konflik horizontal.
Toh suplemen kesabaran umat tidak ada batasnya. Kita patut kasihani mereka dan anak istrinya. Memperoleh harta dari hasil membuat berita keresahan sosial dengan varian standar ganda dan pemutar balikan fakta.
Doakan juga semoga mereka sadar atas kebinalannya. Yuk kita berdoa, semoga mereka bisa belajar dari kegagalan, keputusasaan, kesengsaraan, dan pedihnya adzab yang diterima Abu Jahal.
Semoga Sang Maha membuka pintu hati mereka. Kita hanya bisa membantu doa, tapi hidayah hanyalah milik Sang Maha. Mereka seolah tak lagi percaya agama. Karenanya biarkan saja, tinggal kita tonton; apakah hidayah atau adzab Nya yang akan mereka terima. Entah..
0 komentar:
Post a Comment