Beberapa waktu lalu pun, Indonesia ramai terkompori masalah ini. Muncul berbagai berita dan spekulasi terkait Sunni & Syiah yang cukup panas aromanya. Kubu Sunni "radikal" memandang bahwa Syiah memiliki hidden agenda dalam pemerintahan Indonesia. Mengingat ada salah satu tokoh Syiah yang duduk di parlemen. Kubu Syiah pun tak kalah gertak, beberapa yang terkenal radikal dan kontroversial, malah siap melakukan pertempuran dengan Sunni. Bahkan jualan mereka didukung oleh kelompok-kelompok liberal yang selama ini memang kerap berhadapan dengan kelompok Sunni "radikal".
Terlepas dari itu, ada suatu fakta menarik yang sayang untuk dilewatkan. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sebuah ormas yang dikenal berpaham Sunni, menjadi sorotan beberapa kelompok Sunni "radikal" karena dipandang memiliki hubungan dengan Syiah, khususnya Syiah Iran. Hal tersebut dikarenakan adanya isu tentang penawaran Khilafah kepada Imam Khomeini pasca Revolusi Iran. Akan tetapi keterkaitan dengan Syiah ini dibantah oleh Juru Bicara HTI di sela-sela kegiatan Halaqoh Islam dan Peradaban yang digelar di Gedung Asrama Haji Yogyakarta (11/4/2015).[1] Menurut Jubit HTI, Hizbut Tahrir (HT) kala itu justru mengkritik Khomeini dan Rancangan Konstitusi Iran yang kemudian kritik tersebut dibukukan dalam kitab berjudul Naqdh Masyru’ ad-Dustur al-Irani yang terbit 7 Syawal 1399 H (30 Agustus 1979).[2] Bagi HT, perbedaan HT dengan Syiah adalah pada tataran ushul dan furu'.
Fakta ini menjadi menarik karena ada beberapa hal yang justru bertolak belakang dengan penjelasan juru bicara HT dan juga beberapa anggota HT lain terkait Syiah dan Khomeini. Hal-hal yang menyebabkan sebagian pihak akhirnya menyatakan bahwa HT tidak jujur dalam penyikap mereka terhadap Syiah. Entah karena ketidakpahaman mereka akan Syiah atau memang dibalik itu semua ada kemesraan diantara Syiah dengan HT -yang menyatakan dirinya partai politik-. Adapun beberapa hal tersebut adalah:
1. ANGGOTA HT ADA YANG BERALIRAN SYIAH
Besar kemungkinan anggota HT beraliran Syiah di lapangan banyak, khususnya untuk daerah Timur Tengah. Hal ini didasari oleh pernyataan DR. Muhammad Muhsin Radly, anggota HT Irak, dalam tesisnya yang berjudul "Hizbut Tahrir: Tsaqafatuhu wa Manhajuhu fii Iqamati Daulah Khilafah”.[3] Dalam tesis tersebut dijelaskan bahwa pengikut madzhab Jafari (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah) banyak yang bergabung menjadi anggota HT Irak, di antara mereka yang terkenal adalah: Muhammad Hadi Abdullah as-Subaiti, dan Arif al-Bashri." (hal - 98). Selain itu, di Libanon pun banyak tersebar anggota HT dan pendukung HT (hal - 113). Salah satu nama yang mencuat di HT Libanon adalah dr. Mohammad Jaber [4] yang memangku jabatan sebagai salah satu ketua HT di Libanon.
dr. Mohammad Jaber bersama Mahan Abedin, peneliti IDSA di Nabatieh |
2. PENAWARAN KHOMEINI MENJADI KHALIFAH
Beberapa anggota HT apabila dikonfirmasi terkait hal ini akan mengatakan bahwa tidak benar HT mengirimkan perwakilannya untuk menawarkan Khalifah kepada Khomeini tahun 1979.[6]Dalam pertemuan tersebut, HT hanya menjelaskan dan menawarkan pada Khomeini tentang kesalahannya dan jauhnya dia dari kebenaran dengan mengesampingkan penerapan Islam secara sempurna. HT juga menyampaikan kepadanya tentang kewajiban mengangkat seorang kepala Negara yang akan bertindak sebagai khalifah bagi seluruh umat Islam. Hal tersebut menurut anggota HT belum pernah dilakukan oleh pihak lain.[7]
Karena tidak menerima tanggapan dari Khomeini selama berbulan-bulan, HT akhirnya menerbitkan Naqdh Masyru’ ad-Dustur al-Irani (Kritik terhadap Undang-Undang Dasar Iran) yang terbit 7 Syawal 1399 H (30 Agustus 1979).[8] Kritik tersebut coba diberikan langsung pada Khomeini oleh delegasi HT namun tidak berhasil bertemu Khomeini lagi.
Ada beberapa catatan yang berbeda terkait hal diatas dengan apa yang disampaikan dr. Mohammad Jaber. Menurut Jaber, pertemuan dengan Khomeini tidak hanya dilakukan pada tahun 1979 saja namun dilakukan juga beberapa bulan sebelum kemenangan revolusi Iran. Pertama delegasi HT (terdiri dari dr. Mohammad Jaber, amir HT Eropa, dan pendamping amir HT Eropa) mengirim terlebih dahulu surat untuk bertemu lalu akhirnya dapat bertemu pertama kali pada bulan Oktober 1978. Selanjutnya pertemuan kedua pada Desember 1978 dan terakhir Februari 1979. Delegasi menekankan pada Khomeini agar mau mendirikan negara Islam yang mendunia (Khilafah). Bahkan jika Negara tersebut nantinya akan didominasi oleh penganut Syiah Dua Belas Imam (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah). HT akan siap membantu dengan catatan tetap bentuknya Khilafah untuk seluruh kaum muslimin.[9]
Adanya informasi tadi dengan jelas menampakan bahwa HT memang menawarkan Khomeini sebagai Khalifah. Karena HT meminta Khomeini untuk mendirikan Khilafah dan kalaupun dikuasai Syiah Dua Belas Imam (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah) maka tidak mengapa. Kenapa disimpulkan demikian? Karena pemimpin Revolusi Iran sekaligus pemimpin spiritual Syiah Dua Belas Imam (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah) saat itu adalah Khomeini. Pada saat itu pun Khomeini tidak diminta untuk beralih menjadi Sunni. Hal ini diperkuat dengan pernyataan kesiapan HT untuk membantu Khomeini apabila Khilafah nantinya dikuasai Syiah Dua Belas Imam (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah). Sehingga akan tidak mungkin apabila Khalifahnya adalah HT Eropa atau amir HT. Karena kedua orang tadi bukan penganut Syiah Dua Belas Imam (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah).
Bantahan HT tidak menawarkan Khomeini sebagai Khalifah pun tertolak sendirinya dengan apa yang pernah dirilis HT sendiri di majalah Al Khilafah No. 18, Jum’at, 2 Januari 1410 H (1989), dan majalah Al Wa’ie, Nomor 75 halaman 23 (1993). Dalam majalah Al Khilafah dengan artikel berjudul “Hizbut Tahrir wal ‘Imam’ Khomeini”, dikatakan “Kami mengusulkan agar Khomeini menjadi khalifah umat ini”. Sedangkan dalam Al Wa’ie, Nomor 75 halaman 23 (1993) dikatakan bahwa persoalan sunni-syiah ini terjadi karena ada orang-orang yang berada di belakang perpecahan ini (yang mempunyai maksud tertentu). Oleh karenanya HT harus memerangi orang-orang itu, sebab tidak ada perbedaan antara keduanya, dan siapa saja yang melakukan perbedaan itu maka akan HT lawan”.
Bagi HT sendiri, kemungkinan seorang Syiah menjadi Khalifah bukanlah sebuah keniscayaan, sebab dalam buku pelatihan ideologis-politik berjudul “Dasar-Dasar Islam” (1953), dengan jelas diyatakan bahwa penganut Syiah Dua Belas Imam (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah) adalah kaum Mukminin yang memiliki hak untuk berperan secara aktif di dalam Negara Islam, termasuk aksesi ke Kantor Politik-Keagamaan yang tertinggi, yaitu Khalifah.[10]
3. MENGAGUNGKAN KHOMEINI
Bagi dr. Mohammed Jaber, Khomeini merupakan pemimpin besar Islam dan tulus. Khomeini memiliki pengaruh politik dan hukum dalam tatanan global. Dia juga telah berhasil mengubah jalan dan beberapa konsep yang mendasar terkait hubungan internasional. Menurutnya, pendapat ini adalah pendapat pribadinya akan tetapi pendapat ini disebar di para pemimpin HT dan anggota HT di seluruh dunia.[11]
Bukan hanya dr. Mohammed Jaber saja yang memuji Khomeini, tokoh HT lain pun ikut memuji-muji Khomeini. Adalah Muhammad Mis’ari yang menyebarkan selebaran di London pada Kamis 22 Syawwal 1415 H / 23 Maret 1995 M. Isi dari selebaran tersebut salah satunya memuji Khomeini dengan mengatakan bahwa Khomeini adalah seorang pemimpin bersejarah yang agung dan jenius. Selain itu, dia mencaci sebagian ulama dan menganggap Syiah sebagai saudara.[12]
4. KERJASAMA DENGAN HIZBULLAH
Hubungan HT dengan Hizbullah secara struktural memang tidak. Kedua kelompok nampaknya pernah menjalin komunikasi. Entah resmi atau tidak. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan dr. Mohammed Jaber yang memuji Hizbullah sebagai kelompok perlawanan dan politik Islam yang tulus. Adalah sebuah kewajiban syar'i, menurut dr. Mohammed Jaber, untuk mendukung perjuangan Hizbullah.[13] Meskipun demikian, HT menyatakan bahwa mereka tetap kritis terhadap kebijakan-kebijakan politik Hizbullah.
Anggota Hizbut Tahrir Inggris aksi bersama pendukung Hizbullah di depan pagar Kedutaan besar Arab Saudi memprotes serangan Israel ke Gaza (2009) |
Taji Mustafa dalam acara Al Quds Day 2010 bersama organisasi lintas agama dan kelompok di London (4/10/2010) |
HT kerap mengatakan bahwa HT dengan Syiah berbeda. Mereka memiliki perbedaan pada tataran ushul dan furu', atau dengan kata lain berbeda dari segi pondasi dan bangunan. Seperti yang disampaikan dalam pertemuan MIUMI Pusat & HTI di Alqur'an Learning Center (AQL) Tebet Jakarta Selatan (24/4/2015).[16] Singkatnya, HT memandang bahwa tidak semua Syiah sesat atau kafir. Syiah ada yang sudah masuk kafir, ada yang sesat, namun sebagian lagi ada yang masih muslim misalnya sebagian Syiah Dua Belas Imam (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah) atau Syiah Zaidiyyah, khususnya yang di Yaman.
Terkait Syiah Zaidiyyah, aliran ini dinisbatkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin. Ali Zainal Abidin, bapaknya, merupakan sosok yang cinta kepada para sahabat seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman. Bahkan beliau menilai kalangan yang senantiasa mencaci maki para sahabat merupakan kalangan yang melecehkan Islam dan bukan bagian dari Islam (Kafir). Pemahaman ayahnya tersebut diikuti oleh anaknya, Zaid bin Ali. Hingga karena kealimannya, muncullah pengikut yang menamakan diri mereka sebagai Syi’ah Zaidiyah.
Dalam perkembangannya Zaidiyyah disebut memiliki kemiripan dengan Mu’tazilah karena kerap berinteraksi dengan murid-murid Washil bin Atha’. Sedangkan dalam masalah fikih mereka memiliki kemiripan dengan madzhab Hanafi karena sering terjadi interaksi antara murid-murid Abu Hanifah di Irak dengan Zaid bin Ali. Hanya saja, untuk perkara tauhid, Zaidiyyah berbeda dengan mazhab Hanafi dan pandangan sunni lainnya. Beberapa hal terkait akidah yang berbeda dengan sunni adalah; 1) Tidak meyakini bahwa orang-orang yang beriman dapat melihat Allah di akhirat, 2) Allah tidak menciptakan maksiat, 3) Kalam adalah makhluk, bukan bagian dari sifat-sifat Allah, 4) Mengingkari adanya syafaah bagi umat Rasulullah yang menjadi ahli maksiat, 5) Orang yang lebih berhak setelah kepemimpinan Rasulullah adalah Ali dan kelaurganya. Pengangkat Abu Bakar adalah kesalahan. Namun demikian, Zaidiyah tidak sampai mengkafirkan para sahabat akibat “kesalahan” ini, 6) Dibolehkan dan dibenarkan bahkan wajib melakukan pemberontakan kepada pemerintahan Muslim yang zalim (ket: pernah terjadi pada abad ke 8 (bani Umayyah), masa terakhir Utsmaniyyah tahun 1915).
Karena pemikiran Syiah Zaidiyyah seperti diataslah, Imam Asy-Syaukani akhirnya tertobat dan memilih kembali ke ahlu sunnah Wal jamaah. Meskipun selama itu beliau kerap dikenal dan dikatakan sebagai ulama syiah (baca: Syiah Zaidiyyah). Sebagai bentuk pertobatannya, Imam Asy-Syaukani menyusun kitab yang cukup terkenal dengan judul As-Sail Al-Jurar Al-Mutadaffiq 'ala Hada,iq Al-Azhar. Isi kitab tersebut mengkritik seluruh pemikiran dan pendapat kelompok Syiah Zaidiyyah, serta menelanjangi kebohongan-kebohongannya dan penyimpangan-penyimpangannya dari pemahaman As-Sunnah yang dipahami Salaf As Shalih.
Dan bukan hanya Imam As Syaukani saja yang menentang Syiah Zaidiyyah, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari pendiri sekaligus Rais Akbar Nahdhatul Ulama pun menolaknya dan menyatakan mazhab Syiah Dua Belas Imam (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah) dan Zaidiyah tidak sah diikuti umat Islam dan tidak boleh dipegang pendapatnya sebab mereka adalah ahli bid’ah. Pihak MUI pun telah mengeluarkan resmi buku terkait hal tersebut.[17]
Yang perlu dipahami adalah Syiah Zaidiyyah saat ini keberadaan mereka hanya tersisa di Yaman, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Syiah Houtsi. Mereka telah banyak menyelesihi pendahulunya, bahkan pada dekade terakhir ini gencar memerangi Ahlu Sunnah dan berusaha merebut dan berkuasa di pemerintahan Yaman. Pergeseran Syiah Zaidiyyah ini banyak bermula dari merapatnya ulama-ulama Syiah Zaidiyyah pasca revolusi Iran yaitu pada tahun 1979 ke Khomeini.[18] Sehingga secara akidah dan politik mereka telah melebur dan membaur menjadi warna yang sama, sebab Syiah Zaidiyah tersebut menjadi berpegang pada kitab yang sama dari kitab yang menjadi rujukan Syiah Itsna Asy'ariyah/Imamiyah.
Terlepas dari itu, kalau pun toh Syiah Zaidiyah (Houtsi) hari ini masih dianggap muslim dan lebih dekat dengan Ahlu Sunnah, maka pembelaan pada Syiah Zaidiyyah yang masih ada di Yaman ini pun menjadi blunder apabila dikaitkan dengan seruan HT tentang persatuan Sunni-Syiah.[19] Mengapa? Sebab kalaulah yang dikatakan Syiah masih muslim itu Syiah Zaidiyyah yang di Yaman, lantas kenapa seruan Sunni dan Syiah bersatu dalam nanungan Khilafah justru dikeluarkan di Irak yang notabene lebih banyak Syiah Nushairiyyah di bagian barat dan sebagian Rafidhah di sebelah timur Irak. Kalau pun mau mengeluarkan seruan tersebut harusnya dikeluarkan oleh HT wilayah Yaman.
Syi'ah sendiri secara keseluruhan, dari awal lahir hingga berakhirnya Khilafah tahun 1924, senantiasa diperangi oleh para dinasti kekhilafahan. Tidak dipungkiri, memang ada upaya dari Khalifah untuk menyatukan sunni dan syiah. Itu pun dalam konteks mendakwahi mereka untuk pindah dari Syiah ke sunni, bukan dibiarkan tetap Syiah. Usaha ini pernah dilakukan tahun 74 H. Umat Islam yang menyokong persatuan ini akhirnya disebut Ahlus-Sunnah Wal-Jamaah. Namun opsi ini ditolak oleh kaum Syiah sendiri. Oleh karena itu, meskipun sempat menguasai wilayah dan pemerintahan, Syiah akhirnya selalu diburu untuk didakwahi agar beralih pada Islam atau diperangi. Khalifah Jafar al Mansur (Bani Abbasiyah) dan Salahuddin al Ayyubi menjadi salah satu bukti atas hal tersebut. Mereka melakukan itu karena paham bagaimana akidah dan tabiat Syiah yang tidak mau bersatu. Kasus kejatuhan Abbasiyah ke tangan Tartar hingga lahir Daulah Syiah Fathimiyah, kasus penghadangan kapal dagang Khilafah masuk Nusantara, kasus pelolosan Portugis masuk Nusantara, hingga masuk kerjasama Syiah dengan Mustafa Kamal Attaturk untuk membendung membendung Khilafah Utsmaniyyah menjadi beberap bukti dari penyimpangan yang kerap dilakukan Syiah.
6. MAZHAB JAFARY ADALAH MAZHAB ISLAM
Kembali ke dr. Mohammad Jaber, dia menyatakan dirinya adalah seorang yang bermazhab Jafariy. Mazhab yang menurutnya dan sebagian besar anggota HT masih dalam lingkup Islam. Yang karenanya maka sah-sah saja Jaber menjadi anggota HT bahkan menjadi tokoh sentral di HT Libanon. Namun seperti apakah mazhab Jafari itu?
Mazhab Jafary dikenal juga sebagai mazhab Dua Belas Imam /Istna al asy ariyah/Rafidah. Namnya dinisbatkan kepada Imam ke-6 kaum Syiah, yaitu Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ulama terkenalnya abad ini adalah Khomeini. Perlu diketahui, Imam Jafar tidak pernah menuliskan kitab. Berbeda dengan 4 imam besar lainnya seperti; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Imam Malik merupakan murid langsung Imam Jafar. Imam Malik menulis berbagai kitab fiqh tapi tidak dinamakan fiqh Jafary. Karena Imam Malik memiliki metode tersendiri atas fiqhnya yang kemudian lahirlah nama mazhab Maliki.
Akibat ketiadaan kitab yang langsung ditulis oleh Imam Jafar, kaum Syiah penganut mazhab Jafary (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah) akhirnya mencari-cari kitab rujukan. Karena tidak ada satu pun murid Imam Jafar yang menulis kitab (kecuali Imam Malik), akhirnya mereka mendapatkan rujukan pula yaitu kitab Furu’ Al Kafi Al Kulainy (Kitab rujukan tertua). Namun kitab ini ditulis 180 tahun setelah Imam Ja’far wafat. Kitab lain yang dijadikan rujukan adalah kitab Man La Yadurruhul Faqih karya Muhammad bin Ali bin Babawaihy Al Qummy yang ditulis 230 tahun setelah Imam Jafar wafat. Atau 50 tahun kemudian setelah kitab Furu’ Al Kafi Al Kulainy. Atau sekitar 4 generasi. Karena jauhnya jarak periwayat dan penulis kitab, akhirnya banyak ditemukan sanad-sanad yang terputus dan tidak jelas sambungannya ke Imam Jafar. Ulama Syi'ah ternama, Syarif Al Murtadlo di dalam kitabnya Rosail Syarif Al Murtadlo juz 3 hal 310 menjelaskan bahwa kebanyakan fiqh (Syiah) bahkan keseluruhanya tidak terlepas dari berpedoman kepada madzhab yg terhenti, diriwayatkan dari jalur lain dan ada kalanya keduanya darinya.
Kalaulah kemudian mazhab Jafary (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah) mau ini dimasukan ke dalam Islam sebenarnya sah-sah saja. Tidak ada larangan selama memang tidak menjadi masalah bagi umat Islam itu sendiri. Namun sebelum jauh menyatakannya masuk ke dalam khazanah Islam, ada baiknya dilihat terlebih dahulu bagaimana fiqh Jafary (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah) ini sebenarnya. Beberapa fiqh yang menarik yang ada dalam mazhab Jafari (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah) adalah; kebolehan nikah mut'ah, shalat dalam sehari semalam ada 50 kali, gerakan shalat yang berbeda [20], mengucapkan “aamiin” setelah al Fatihah dalam shalat maka batal shalatnya, bersedekap ketika shalat maka batal shalat, mengakui Ali merupakan khalifah dan pemimpin umat Islam setelah Rasulullah dengan alasan perintah dari Allah di sebuah tempat yang dikenal dengan nama “Ghadir Khum” yang akhirnya lahirlah Hari Raya Idul Dhadir, dll. Lalu bagaimana hubungannya dengan HT? Maka apabila kemudian ada seorang anggota HT menyatakan dirinya bukan Syi'ah namun Muslim dengan bermazhab Jafary (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah), maka apakah contoh-contoh fikh diatas tidak cukup mengatakan bahwa anggota tersebut sejatinya bukan anggota HT. Sebab dari contoh fiqh yang sedikit itu saja sudah dapat dipastikan akan bertentangan dengan apa yang diadopsi HT. Kalau misalnya sebenarnya maksud dia adalah "dulu" dia bekas penganut mazhab Jafary (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah) dan sekarang sudah berubah menjadi sunni, apa urgensinya mengaku-ngaku sebagai Syiah atau mengaku bermazhab Jafary (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah)? Kenapa tidak menyatakan diri dengan kalimat "Saya muslim, tapi dulunya saya Syiah" atau "Saya telah tobat dari Syiah Jafary (Istna Asy’ariyah/Imamiyah/Rafidhah), sekarang saya muslim"? Kenapa konsep Syiah terus dibawa-bawa dan digunakan? Apakah karena Syiah memang didalam tubuh HT dibolehkan? Kalau kemudian dijawab boleh atau muter-muter tidak jelas lagi, maka jangan salahkan orang semakin yakin bahwa HT memang mesra dengan Syiah. Itu pun kalau tidak mau dikatakan HT disusupi Syiah. Atau yang lebih ekstrim lagi adalah HT adalah Syiah itu sendiri. Wallahu’alam
Referensi:
8. religion.info, Op.cit.
9. Ibid.
10. Ibid.
11. Ibid.
12. Mereka Adalah Teroris, Al Ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh, Pustaka Qaulan Sadida Cetakan ke 2, Dzulqa’dah 1426 H.
13. religion.info, Op.cit.
17. Buku panduan MUI, Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia, hal 33-34
0 komentar:
Post a Comment