Pemerintah (dan MetroTV) Memburu HTI Seperti PKI


Setelah membubarkan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), pemerintah sekarang memburu para anggota dan aktivis gerakan dakwah ini, sebagaimana dulu orang-orang PKI diburu karena kejahatan mereka terhadap negara, bangsa, dan umat Islam. Kini, pemerintah mengancam akan memecat PNS yang bersimpati kepada HTI.

Pemerintah mengatakan, kalau mereka mau “dibina” dan menandatangani perjanjian, maka mereka boleh terus menjadi PNS. Pemerintah juga menggerebek kampus-kampus untuk mencari dosen-dosen yang terindikasi HTI. Mirip seperti perburuan orang PKI. Dulu masyarakat merasa PKI memang pantas dibuat seperti itu karena mereka membunuhi para ulama.

Tidak jelas gagasan siapa yang dipakai oleh pemerintah dalam melakukan pengejaran terhadap PNS simpatisan HTI. Tetapi, ada sejumlah pejabat yang menyatakan kegeramannya. Termasuklah Dajrot Saiful Hidayat, Plt Gubernur DKI, yang menyarankan agar kewarganegaraan orang HTI dicabut saja.

Seperti dikutip Teropongsenayan, bahwa langkah pemerintah memburur anggota HTI rupanya menaikkan libido (semangat) tak suka Islam di MetroTV. Mereka bagaikan mengerahkan segenap tenaga dan waktunya untuk “memburu” para aktivis HTI. Memburu di sini saya artikan sebagai upaya yang berlebihan untuk tetap membuat berita tentang HTI “floating” (tetap ada), setiap hari. Bisa tercium bahwa dewan redaksi MetroTV menjadikan HTI sebagai “a must item” (topik wajib).

Setiap hari sejak dikeluarkan Perppu 2/2017, MetroTV terus berusaha menghadirkan bahasan tentang HTI. Tampak juga alokasi “air time” (waktu siar) untuk isu HTI disediakan selalu panjang. Di acara Editorial Rabu pagi (26/7/17), stasiun televisi ini membahas ulang tentang “apa yang harus dilakukan terhadap para PNS yang bersimpati pada HTI”.

Di acara Editorial ini, Leonard Samosir (pembawa acara), mewawancarai jurubicara Kemendagri, Widodo Sigit Pudjianto. Samosir antara lain mengajukan pertanyaan, “bagaimana ujung dari penanganan PNS yang terlibat HTI”. Pertanyaan ini juga disodorkan kepada koleganya sesama MetroTV yang duduk di studio. Terkesan si pembawa acara ingin mendapatkan jawaban, “akan dipecat” atau “harus dipecat”. Sudah sangat ingin mereka melihat PNS dipecat karena HTI.

MetroTV tidak menyembunyikan kebenciannya yang menumpuk tingggi terhadap HTI. Mereka tidak menghiraukan bahwa keluarga besar HTI adalah umat Islam. Saya kurang tahu apakah stasiun TV ini tidak mengerti bahwa sikap seperti itu akan terukir di hati umat Islam.

Kalau Anda, MetroTV, mengambil garis parsial (bias) terhadap umat Islam, sah-sah saja. Silakan. Tetapi, parsialitas yang Anda tunjukkan itu bukan sekadar tak suka Islam. Anda sekaligus telah melakukan “demonizing” alias penjelekan umat Islam. Itu terlihat dari talk show current affairs (sajian berita) Anda. Bisa kok diamati dari cara Anda menyajikan berita atau pembahasan tentang HTI. Ketahuan dari “wording” wawancara Anda, begitu juga narasi naskah secara umum.

Kalau “kebijakan” itu Anda lanjutkan, konsekuensinya sangat berat. Bahwa Anda ikut membangun tembok polarisasi yang menghadapkan umat Islam di satu pihak, dan “orang lain” di pihak seberangnya. Sadar atau tidak, Anda memupuk pertentangan antara dua kubu. Terlihat sekali Anda ingin umat Islam tergiring ke satu pojok. Sangat serius. Deadly serious!

Ini terbukti dari opini yang meluas di kalangan umat Islam bahwa MetroTV sering dirasakan berat sebelah dan mengada-ada. Sampai-sampai populer julukan, maaf, Metrotivu untuk Anda.

Saya kurang tahu apakah Pak Surya Paloh memperhatikan sikap anak buahnya di MetroTV. Bisa jadi dia tak punya waktu untuk mengamati perilaku tak suka Islam yang telah berkembang lama di sana. Semoga saja murni tidak tahu. Tetapi, kalau Pak Surya Paloh tahu dan membiarkannya, kita semua sangat prihatin. Sulit dipercaya kalau beliau seperti itu.

(bin) DVD MURATTAL
Share on Google Plus

About Muslimina

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment