Jalin Kesepakatan dengan Kelompok Pejuang Suriah, Ini Tujuan Turki Masuk Idlib
Dalam beberapa hari belakangan, berita tentang Revolusi Suriah diramaikan dengan kabar akan masuknya Turki ke wilayah Idlib di Utara Suriah.
Berbagai analisis dan pendapat bermunculan terkait rencana ini, tak terkecuali bagi pejuang Revolusi dan penduduk di dalam wilayah Idlib sendiri. Dari laporan yang penulis peroleh di lapangan, terdapat tiga opini yang berkembang di tengah masyarakat dan pejuang Suriah.
Pertama, ada yang menyatakan rencana Turki ini sebagai bentuk invasi atau penjajahan model baru. Kedua, ada pihak yang menyatakan rencana Turki ini sebagai bantuan demi mencegah serangan brutal rezim Nushayri yang dibantu Iran dan Rusia. Ketiga, ada pula yang menyatakan, ini hanyalah rencana terselubung Turki yang sebenarnya ingin memukul aliansi Kurdi di Afrin dengan memutus pasokan kekuatan Kurdi dari arah Tel-Rifat (Aleppo).
Menarik memang, bagaimana terpecahnya opini dan analisis di Idlib sendiri terhadap rencana Turki tersebut. Rencana ini makin dianggap tambah rumit di tengah situasi peperangan di Suriah yang saling tumpang tindih kepentingan dan konspirasi berbagai negara asing di dalamnya.
Mari kita tinjau sedikit ke belakang, asal mula rencana Turki tersebut. Rencana ini berawal dari Kesepakatan Astana ke-6 pada September 2017, yang di dalamnya kembali disepakati untuk membentuk “de-escalation zone” (zona bebas konflik) di beberapa wilayah, baik keseluruhan atau sebagian. Pemberlakuan zona bebas konflik ini mendapat porsi terbesar dan menyeluruh di wilayah Idlib dan sekitarnya di Utara Suriah[1].
Kesepakatan tersebut akan berlaku selama enam bulan dan akan diperpanjang jika memang perlu dengan konsensus penjamin. Iran, Rusia dan Turki akan memiliki kendali atas ‘zona bebas konflik’ ini. Mereka akan mengerahkan pasukan sesuai dengan peta pembagian kendali wilayah yang disahkan pada 8 September 2017 lalu di Ankara, Turki.
Negara penjamin juga sepakat untuk membentuk pusat koordinasi bersama dan mengoordinasikan kegiatan di daerah-daerah yang termasuk ‘zona bebas konflik’.
Berdasarkan kesepakatan di atas, Turki memegang kendali atas wilayah Idlib dan sekitarnya. Rusia dan Iran mengendalikan seluruh wilayah yang berbatasan langsung dengan Idlib. Wilayah di antara mereka berdua adalah zona penyangga.
Itulah alasan mendasar Turki memasuki Idlib, sebagai pemegang kendali untuk mengamankan provinsi ini dari serangan-serangan yang dapat merusak ‘Kesepakatan Astana’.
Di sinilah letak masalah yang memicu perdebatan, apakah ini bisa diartikan Turki sedang mencoba menduduki atau menjajah Idlib, atau ini adalah bentuk pertolongan Turki untuk mengamankan wilayah tersebut dari serangan yang mungkin saja nanti dilakukan oleh rezim Nushayri Basyar Asad dan sekutunya atau ada agenda lainnya?
Hai’at Tahrir al-Sham (HTS) kelompok yang sekarang mendominasi Idlib belum merilis secara resmi pernyataan mereka tentang rencana Turki, tetapi telah menjadi kabar umum di Suriah bahwa HTS sudah menjalin kesepakatan dengan Turki. Bahkan pada Ahad, 8 Oktober 2017, delegasi Turki datang ke Idlib dengan pengawalan pejuang HTS[2].
Tentu menarik mengetahui fakta di atas, di tengah kabar banyak anggota HTS sendiri bergitu bersemangat akan memukul Turki dengan dalih negara pimpinan Presiden Recep Tayyip Erdogan itu, sebagaimana Rusia, juga akan menjajah Suriah!
Tapi yang tidak diketahui oleh banyak anggota HTS bahwa pimpinan HTS, termasuk Abu Muhammad Al-Jaulani, telah melakukan beberapa kali perundingan dengan Turki soal rencana negara itu masuk ke Suriah. Al-Jaulani sangat ingin menghindari kerugian yang tak akan terelakan dari pertempuran dan pembelotan yang terjadi jika konflik habis-habisan timbul di Idlib. Belum lagi kekhawatiran Al-Jaulani akan bangkitnya faksi-faksi yang selama ini telah dihantam oleh HTS. Mereka tentu akan menggunakan momentum Turki ini untuk memukul balas HTS dan menyingkirkannya dari Suriah.
Dan sepertinya perundingan HTS dengan Turki berjalan sesuai rencana. Itu terbukti dengan masuknya delegasi Turki dengan pengawalan HTS ke Idlib. Kemudian Turki lebih fokus ke desa Atmah yang berbatasan dengan Afrin dan saat ini diduduki oleh Aliansi Kurdi (YPG/SDF/PKK) yang menjadi musuh utama Turki selama ini. Aliansi Kurdi dukungan Amerika dan Rusia ini pula yang memaksa Turki untuk masuk ke Jarablus (Aleppo Utara) sebelumnya.
Turki sepertinya punya misi terselubung dengan rencana masuk ke Idlib. Negara ini ingin memukul aliansi Kurdi di Afrin tersebut dengan memutus jalur mereka di Tel-Rifat yang tersambung ke wilayah yang dikuasai oleh rezim Basyar Asad di Nubul-Zahra (Aleppo Utara). Jika misi Turki ini berhasil, maka wilayah Jarablus akan terhubung langsung dengan Idlib dan Kurdi akan terisolasi di Afrin.
Rencana ini cukup nyata, karena Turki memandang Afrin sebagai ancaman bagi wilayah Turki di selatan. Apalagi upaya Kurdi untuk masuk ke Idlib didukung Amerika dengan dalih untuk memukul kelompok ‘Teroris’. Karenanya, Turki perlu segera mem-blokade rencana ini dengan segera memutus jalur Kurdi, dengan memasuki Idlib. Dengan demikian dalih Kurdi untuk melawan kelompok ‘teroris’ terpatahkan dan wilayah Turki tak akan kembali dibanjiri arus pengungsi, mengingat ada 5 juta penduduk di wilayah Idlib, ditambah lagi banyaknya kamp pengungsi di dalamnya[3].
Keterlibatan pasukan aliansi Dar’a al-Furat (Perisat Eufrat) juga ada misi. Mereka ingin balas dendam kepada HTS karena merasa tersingkir. Mereka ingin membuat Idlib menjadi wilayah seperti Jarablus yang mereka kuasai. Aliansi Perisai Eufrat di Jarablus terkenal akan tindak kejahatannya.
Berbagai aksi kriminalitas dan tindak kejahatan lainnya dari Perisai Eufrat ini di Jarablus, tentu akan jadi tantangan dan masalah tersendiri nantinya, kecuali jika mereka benar-benar tunduk di bawah Turki.
Konklusi akhir dari laporan ini, apa sesungguhnya rencana Turki?
Dari paparan di atas, nampak jelas bahwa Turki mempunyai lebih dari satu misi terkait rencana negara tetangga ini memasuki Idlib. Bukan untuk penjajahan atau pendudukan pastinya, tetapi dalam rangka mengamankan wilayah mereka dari pergerakan aliansi Kurdi di Afrin.
Selain itu, Turki juga ingin menjaga Idlib agar tidak diserang secara masif oleh aliansi rezim Nushayri Basyar Asad bersama Rusia dan Iran ataupun aliansi Kurdi. Sebab, jika ini sampai terjadi, akan berakibat tragedi kemanusiaan lebih besar lagi: banjirnya pengungsi menuju Turki.
Turki yang telah menjalin kesepakatan dengan 40 lebih faksi revolusi Suriah, termasuk dengan HTS yang dinilai paling “radikal” dan selama ini dianggap berafiliasi kepada jaringan “terorisme”, sedang mencoba menunjukkan itikad baiknya kepada rakyat Suriah bahwa mereka adalah sekutu dan kawan bagi mereka, bukan lawan, apalagi penjajah model baru.
Dan akhirnya kesepakatan non-agresi telah disetujui antara Turki dengan HTS pada pagi hari ini, Senin, 9 Oktober 2017, waktu Suriah. Di antara kesepakatan itu, Aliansi Perisai Eufrat dilarang masuk ke wilayah Idlib yang telah dibebaskan. Sementara tentara Turki tidak boleh masuk ke dalam Kota Idlib dan daerah sekitarnya.
HTS juga sepakat memberikan tiga pos Ribath yang berhadapan dengan aliansi Kurdi kepada Pasukan Turki. Wilayah itu membentang dari Atmah-Darat hingga Izza-Anadan-Jandaras, dimana HTS sebelumnya bertanggungjawab atas pos-pos itu. Lalu, ada tiga pos Turki yang akan dijaga bersama HTS seperti di Armanaz, yang fungsinya membangun jalur pertahanan untuk mengantisipasi serangan lawan. (Huzaifa, Perbatasan Turki-Idlib/Suriah)
[1] http://astanatimes.com/2017/09/final-de-escalation-zone-established-as-syrian-talks-end-in-astana/
[2] https://twitter.com/aldin_ww/status/917079686739644417
[3] https://www.dailysabah.com/war-on-terror/2017/10/07/turkey-to-stop-ypg-in-northern-syria-with-new-plans-for-idlib-afrin
0 komentar:
Post a Comment