Pilgub DKI; Dari Perang Pemikiran ke Perang Menumpas Kedzoliman
Masyarakat Indonesia kini tengah mengalami pertarungan politik yang sangat panas, karena Pilgub DKI bukan hanya menjadi kegundahan masyarakat DKI, namun telah menjadi kegundahan seluruh anak-anak negeri. Maka tidak heran kalau Pilgub DKI kali ini tidak hanya semata-mata memperebutkan kursi 1 DKI, namun telah menjadi arena perang pemikiran yang amat dahsyat– Arena yang menjadi titik pertemuan antara ‘milisi’ Ahok dan kaum Islamis. Dan kita semua telah menyaksikan bagaimana kecamuk perang pemikiran di Pilgub DKI dalam beberapa pekan kemarin.
Milisi Ahok dari para pakar media terus bekerja secara lunak untuk menciptakan opini umum yang buruk tengtang rivalnya, seperti menteroriskan pasangan Anis Sandiaga dan pendukungnya. Sedangkan dari kalangan pemikir dan akademisi, mereka terus melontarkan pandangan-pandangan boleh dan tidak haramnya memilih pemimpin dari lintas keyakinan. Buku saku RelaNU adalah salah satu bentuk produk pemikirannya.
Bagi Ahoker sendiri tidak sulit untuk memenangkan pilgub DKI, karena mereka didukung oleh konglomerat yang kuat, media massa yang mumpuni, dan kader-kader partai pengusung yang sangat potensial, apalagi mayoritas masyarakat yang hidup di kota motropolitan cenderung lebih pragmatis dan tidak terlalu peduli dengan hal-hal yang berbau agama. Hingga surat Al Maidah ayat 51 pun bagi mereka pada dasarnya bukan sebuah persoalan, namun hal itu menjadi tantangan serius option mereka ingin menembus masyarakat menengah kebawah. Untuk menanganinya mereka cukup mengirimkan milisi dan para pakar untuk melawan rivalnya di medan perang pemikiran.
Sementara itu, di tengah arena perang pemikiran ini posisi kaum Islamis tertodong oleh dua pilihan yang mematikan, antara diam atau bicara. Kalau memilih diam maka itu akan menjadi maslahat bagi para milisi Ahok, namun kalau angkat bicara akan menjadi sasaran bertubi-tubi para milisinya yang moncong senjatanya telah diarahkan menghadap mereka.
Selain itu kaum Islamis juga tengah mengalami posisi yang dilematis, karena suara yang diharapkan mampu menyatu pada satu kotak suara kini terpecah ke dua kotak suara, dan entah akan seperti apa. Maka kaum Islamis pun perlu melipat gandakan kerja mereka agar mampu mengungguli Ahok. Dana mereka tidak sebesar para pendukung petahana, dukungan media pun tidak sekuat media petahana, maka modal terbesar bagi kaum Islamis ada dalam wilayah pemikiran dan keyakinan.
Namun Pasca Insiden Pidato Ahok di kepulauan Seribu, disulut oleh keangkuhan kaum sekular para pendukungnya, dihembusi oleh sikap para penegak hukum yang terus mengulur-ngulur waktu untuk mengadili kasus penistaan ulama can agama, seketika perang pemikiran telah bergeser ke perang menumpas kezaliman. Kaum Islamis lebih memilih untuk angkat bicara dari pada diam yang malah akan memenangkan kepentingan Ahok. Kaum Islamis semakin merapat, kompak, dan menyatukan barisan untuk sebuah perlawanan. 4 November akan menjadi momen terpenting membludak dan meledaknya amukan masa penentang Ahok.
Pilihan ini bukan karena alasan keterdesakan semata. Namun menjadi pilihan terbaik dari dua pilihan yang ada. Meski pilihan ini penuh dengan ancaman mematikan, namun ia akan terbebas dari serangannya ketika melakoni petualangan ini dengan penuh kesadaran dan kedamaian kalau tidak, maka milisi Ahok tinggal menekan tombol senjatanya dan memainkan isu saranya.
http://www.penapembaharu.com/2016/11/03/pilgub-dki-dari-perang-pemikiran-ke-perang-menumpas-kedzoliman/
0 komentar:
Post a Comment