Pidato Politik Megawati di Kongres ke IV PDI Perjuangan, Denpasar, Bali telah membuka aib negara kita.
Dimana seorang Presiden disebut sebagai "Petugas Partai" dan berkali-kali memerintah Presiden Jokowi agar selalu berada digaris partai.
Pantaskah seorang Megawati berkata demikian? Apakah dia lupa bahwa Presiden mengemban amanah RAKYAT, bukan PARTAI.
Kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi, selama ini memang dirasakan sangat tidak memihak kepada rakyat. Ternyata selama ini, tudingan "Presiden Boneka" nyata terbukti dan secara tidak langsung diakui sendiri oleh Megawati.
Pidato Mega mengandung tekanan politik terhadap Jokowi. Seakan Mega memposisikan diri sebagai atasan Jokowi yang secara fakta adalah seorang Presiden.
Sikap Megawati jauh dari seorang "Negarawan". Pasalnya, Mega belum bisa membedakan mana Presiden dan kader partai. Selayaknya, seorang kader partai pun tak pantas disebut Petugas, sebab misi mereka bukan untuk partai, tetapi untuk negara, untuk rakyat.
Baiknya disebut petugas rakyat. Siapa pun dan dari partai manapun, seorang politisi harusnya merasa dirinya sebagai petugas rakyat yang mengemban tugas dan misi kesejahteraan rakyat.
Akibat pidato Mega, berbagai kecaman datang dari seluruh lapisan masyarakat. Mega sudah melecehkan negerinya sendiri. Hingga akhirnya, media internasional juga memuat judul berita yang melecehkan negara.
Mega disebut sebagai "Bos Besar" Jokowi. Sungguh, Mega tak mencerminkan sosok negarawan yang baik, bahkan negerinya sendiri dia pecundangi.
Tak pantas seorang anak Proklamator berlaku demikian, melecehkan negerinya, menjatuhkan citra dan marwah Indonesia. Mega simbol keserakahan, keangkuhan dan otoriter... (abimatrono a/dbs/voa-islam.com)
0 komentar:
Post a Comment