Pelanggaran HAM Serius Terkonfirmasi Terjadi di Myanmar


Amnesty International Indonesia mengonfirmasi dugaan awal pelanggaran HAM serius di Myanmar. Hal tersebut dibuktikan dari terungkapnya penggunaan ranjau mematikan oleh militer Myanmar di perbatasan Rakhine dan Bangladesh.

Dikutip dari siaran pers yang diterima Republika.co.id, Ahad (10/9), hasil perkembangan sementara dari investigasi lapangan Amnesty Internasional menunjukkan bahwa pasukan militer Myanmar menanamkan ranjau darat anti-personil di perbatasan Myanmar dan Bangladesh untuk mencegah kembalinya pengungsi Rohingya ke negara bagian Rakhine. Padahal jenis ranjau tersebut telah dilarang penggunaannya secara internasional.

Amnesty International menemukan tiga orang, yang dua di antaranya adalah anak-anak, terluka parah dan seorang meninggal akibat ranjau tersebut. Tim Respons Krisis Amnesty International yang dipimpin oleh Tirana Hassan saat ini sedang berada di perbatasan Myanmar dan Bangladesh untuk mengumpulkan bukti-bukti terkait dugaan pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya yang dilakukan oleh tentara Myanmar.

Berdasarkan wawancara dengan saksi-saksi dan analisa oleh tim ahli senjata Amnesty International, ranjau tersebut dipasang di bagian utara Rakhine. PBB memperkirakan sekitar 270 ribu orang telah menyeberang ke Bangladesh melalui daerah beranjau tersebut dalam dua minggu terakhir. Mereka melarikan diri akibat serangan membabi buta yang dilakukan militer Myanmar terhadap kelompok militan Rohingya.

Dari perbatasan Bangladesh-Myanmar, Direktur Respons Krisis Amnesty International, Tirana Hassan, mengatakan penggunaan ranjau memperparah keadaan di Rakhine yang sebelumnya memang telah memburuk. Penggunaan senjata mematikan di wilayah perbatasan yang ramai tersebut membahayakan nyawa pengungsi yang melintas.

Militer Myanmar merupakan salah satu dari sedikit angkatan bersenjata di dunia, di antaranya Korea Utara dan Suriah, yang masih menggunakan ranjau anti-personil. “Otoritas setempat di Myanmar harus segera menghentikan praktik keji terhadap orang-orang yang melarikan diri dari persekusi ini,” tambah Tirana.

Beberapa ranjau anti-personil ditemukan di dekat Taung Pyo Wal, daerah yang juga dikenal sebagai Tumbro, di wilayah perbatasan Rakhine dan Bangladesh. Kuat dugaan bahwa militer memasang ranjau tersebut karena banyak pengungsi yang telah menyebrang ke Bangladesh sering melakukan perjalan pulang pergi ke perbatasan Rakhine untuk membawa makanan dan membantu pengungsi lainnya untuk menyebrang ke Bangladesh.

Pada 3 September, seorang wanita berumur 50-an menyebrang dari Bangladesh ke Taung Pyo Let Wal. Dia menginjak ranjau pada saat pulang kembali ke Bangladesh. Dia dirawat di rumah sakit di Bangladesh setelah lututnya lepas akibat ledakan ranjau.

Kalma (20) yang merupakan anggota keluarga wanita paruh baya tersebut mengatakan kepada Amnesty International. “Ibu mertuaku pulang ke kampung kami [dari kamp pengungsian] untuk mengambil air untuk mandi. Beberapa menit kemudian saya mendengar ledakan besar dan seseorang telah menginjak ranjau. Ternyata itu ibu mertua saya.”

Beberapa saksi melihat anggota militer Myanmar bersama dengan polisi penjaga perbatasan menanamkan ranjau di perbatasan Myanmar-Bangladesh. Amnesty International telah memverifikasi keabsahan foto potongan kaki ibu paruh baya tersebut yang diambil setelah terjadinya ledakan. Ahli medis menyimpulkan bahwa luka tersebut diakibatkan oleh alat peledak yang kuat yang ditanamkan di dalam tanah.

Amnesty International juga mendapatkan bukti foto ranjau yang lokasinya tidak jauh dari ledakan tersebut. Empat ledakan yang diduga berasal dari ranjau juga terjadi minggu ini di sebuah jalan yang sibuk di sebuah perkampungan di Myanmar di dekat wilayah perbatasan. Ledakan tersebut melukai dua anak yang berumur antara 10 dan 13 tahun serta membunuh satu orang dewasa.

Salah satu orang Rohingya yang bersembunyi di dekat wilayah penyebrangan tersebut mengatakan bahwa dia dan beberapa orang lainnya menemukan minimal enam ranjau yang ditanam di daerah perbatasan tersebut. Orang Rohingya tersebut mengambil risiko berbahaya dengan membersihkan dua ranjau di wilayah tersebut untuk melindungi warga Rohingya lainnya. Berdasarkan analisis tim ahli senjata Amnesty International, satu dari dua ranjau tersebut berjenis PNM-1 yang didesain untuk menghancurkan tubuh lawan.

Dalam sebuah laporan yang diterbitkan bulan Juni tahun ini, Amnesty International mendokumentasikan bagaimana militer Myanmar dan kelompok militan di negara bagian Kachin dan Shan menanam ranjau anti-personel dan bahan peledak lainnya yang membunuh dan menghancurkan warga termasuk anak-anak.

Republika DVD MURATTAL
Share on Google Plus

About Muslimina

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment