Andaikan Kita Seorang Rohingya (1) : Sejarah Rohingya


Tidak adakah tempat di bumi ini yang bisa menjadi naungan kami?

Tidak adakah negara yang bisa memberikan tempat kepada kami untuk hidup?

Kamilah satu-satunya manusia yang tidak memiliki hak asasi dan otoritas. Bagi mereka, kami adalah binatang.

Ya Allah, banyak masalah yang datang. Mereka mengambil anak laki-laki dan anak perempuan kami.

Setelah mereka menyiksanya, mereka kemudian menguburkannya secara hidup-hidup bersama dengan 50-60 korban lain…

Duhai saudaraku, tidak adakah cinta bagi kami? Tidak adakah simpatimu untuk kami?

Rakyat kami membusuk, anak-anak kami kelaparan dan kehausan…

— (Pengungsi Rohingya)–

Sejarah Rohingya

Burma (atau sekarang disebut sebagai Myanmar) adalah negara dengan banyak etnis, ras, dan agama. Ia bukanlah negara kelompok tertentu—baik mereka Bamar (Burman), kelompok minoritas Shan,

Kachin, Kachin, Kayah, Kayin, Rohingya, Rakhine, Mon, Karen, China, India, atau mana pun itu. Namun, berulangkali realitas ini dilupakan.

Wilayah Arakan di Myanmar, yang berbatasan dengan Bangladesh, ditinggali oleh dua etnis utama, yaitu etnis Muslim Rohingya dan etnis Budha Rakhine. Rakhine adalah kelompok mayoritas, yang banyak tinggal di daerah lembah seperti Lemro, Kaladan, Mayu, dan Cheduba. Sedangkan Rohingnya adalah kelompok minoritas yang banyak tinggal di wilayah utara Arakan.
Kelompok Muslim lain yang tinggal di Arakan adalah Muslim Kaman, yang merupakan pribumi Myanmar dan Muslim Rakhine, yang merupakan keturunan dari pernikahan dengan umat Budha Rakhine. Selain itu, terdapat juga etnis minoritas lain yang tinggal di Arakan, seperti Chin, Mro, Chakma, Khami, Dainet, dan Maramagri, yang banyak tinggal di daerah perbukitan.

Pemukiman di Arakan tidak padat, dan sangat jarang kota besar di sana. Kota terbesar di Arakan adalah Sittwe, yang juga merupakan pusat perdagangan. Kota lain yang terkenal adalah Maungdaw, Buthidaung, Rathedaung, Mrauk-U, Kyaukpru, Thandwe, dan Tounggok. Secara umum, penduduk Arakan banyak tinggal di pedesaan, tinggal di lembah, bukit, dan hutan, atau di sekitar pantai Bengal. Arakan adalah wilayah paling kaya akan tabungan minyak dan gas alam di Myanmar.

Awalnya, Arakan bukanlah bagian dari Myanmar maupun Bangladesh, ia adalah wilayah yang terpisah sampai terjadinya invasi yang dilakukan oleh raja Burma yang bernama Bowdawpaya pada tahun 1784. Dinasti terakhir di Arakan berkuasa dari abad ke 15 hingga 18, dan sangat dipengaruhi oleh kultur Islami.

Dasar keyakinan Islam, yaitu Kalima, tertulis di seluruh mata uang mereka. Muslim Rohingya adalah penduduk asli wilayah Myanmar yang disebutkan dalam Asiatic Researches volume ke-5 tahun 1799. Sensus yang dilakukan oleh kolonial Inggris pada tahun 1825 M menunjukkan adanya satu orang Muslim untuk setiap dua orang Budha di Arakan.

Seluruh konstitusi dan undang-undang kewarganegaraan Myanmar memberikan status pribumi pada seluruh orang yang secara permanen tinggal di Arakan atau di Myanmar sebelum tahun 1825. Muslim Rohingya sebelum tahun 1825 dianggap sebagai ras pribumi yang sah di Myanmar. Namun, hari ini rezim militer Myanmar menuduh etnis Rohingya sebagai imigran gelap asal Bangladesh dan menyangkal status mereka sebagai warga negara Myanmar.

Sejarah Arakan mengklaim bahwa Kerajaan ini didirikan pada tahun 2666 SM. Selama berabad-abad Arakan pernah menjadi kerajaan yang independen. Ia diperintah oleh berbagai dinasti India dan mereka membuat ibu kota mereka di Dinnawadi (Dhanyavati), Wesali, Pinsa, Parin, Hkril, Launggyet dan Mrohaung di sepanjang sungai Lemro.

Berdasarkan studi, M.S Collins menyimpulkan bahwa, “Wilayah Arakan Utara sebelum abad ke-8 Masehi dikuasai oleh dinasti Hindu; pada tahun 788 M, dinasti baru yang bernama Chandra, mendirikan kota yang disebut sebagai Wesali; kota ini menjadi pelabuhan dagang yang cukup populer dengan ribuan kapal berlabuh setiap tahun; Raja Chandra adalah seorang penganut Budha, … wilayah kekuasaannya sampai ke wilayah Chittagong. Baik penguasa maupun rakyatnya adalah keturunan India.”

Selain fakta di atas D.D.E. Hall juga menyebutkan bahwa “etnis Burma tampaknya belum ada di Arakan sampai sekitar akhir abad ke-10 M. Oleh karena dinasti yang berkuasa sebelumnya diperkirakan adalah India, yang memerintah rakyat yang mirip dengan Bengali. Semua ibukota mereka yang dikenal dalam sejarah berada di dekat Akyab saat ini.”

Umat Islam Arab pertama kali datang ke Arakan melalui perdagangan selama abad ke-8, dan sejak itu Islam mulai menyebar di wilayah tersebut. Saat itu, orang-orang Arab sangat aktif dalam melakukan perdagangan di laut.

Sejak saat itu, populasi umat Islam di Arakan semakin meningkat. Secara bertahap mereka membangun hubungan yang sangat baik dengan penduduk lokal dan menikah dengan wanita-wanita lokal. Sudah menjadi tradisi bahwa penduduk asing dan orang-orang yang berkunjung ke Burma dan Arakan tertarik untuk menikah dengan wanita setempat, dengan pemahaman bersama bahwa saat mereka meninggalkan Arakan, anak dan istri mereka tidak dibawa bersama mereka. Mereka hanya sedikit berbeda dengan orang-orang Arakan asli, yaitu dalam hal agama dan pakaian saja—sebagai pengaruh dari ajaran agama mereka.

Bekerja sama dengan para pedagang dan para pengelana Muslim beberapa ulama Islam memainkan peran penting menyebarkan Islam di Arakan. “Para pedagang Muslim dari Arab, Irak, Persia dan daerah lain di Asia Tengah mulai datang di Chittagong pada abad ke-5, dan beberapa dari mereka sudah menetap di sana untuk tujuan komersial. Bersama dengan mereka adalah para da’i yang menembus jauh ke pedalaman dan menyusuri pantai di Arakan, yang juga memiliki sebuah pemukiman muslim.”

Pengaruh Islam di Arakan

Islam mulai memberikan pengaruh dalam politik dan budayanya pada awal abad 15 melalui Raja Narameikhla. Sekitar tahun 1404, raja Narameikhla (1404-1434) diusir dari Arakan setelah invasi kerajaan Burma. Raja Narameikhla melarikan diri ke Gaur, ibukota Kesultanan Bengal. Ia diterima dengan sangat sopan dan diizinkan untuk tinggal di sana, “di mana ia menjabat sebagai seorang perwira dalam pasukan Ahmed Shah.”

Raja Narameikhla menghabiskan sebagian besar hidupnya di Bengal, meninggalkan negaranya di tangan kerajaan Burma. Sampai akhirnya pada tahun 1430, ia dikembalikan ke tahta Arakan dengan bantuan tentara Bengal yang dikirim oleh Sultan Muhammad Shah Jalaiuddin.

Raja Narameikhla mendirikan sebuah dinasti baru di Arakan yang dikenal sebagai dinasti Mrauk-U, dengan ibukota Mrohaung. Konsekuensinya, sejak tahun 1430, kerajaan Arakan menyetorkan upeti kepada kerajaan Bengal dan menggunakan nama Islami serta menggunakan koin yang dikenal sebagai Kalima.
Karena pengaruh Mohamedan (kepercayaan Islam) cukup kuat, raja-raja Arakan—meskipun beragama Budha—terpengaruh oleh Mohamedan dalam ide-ide mereka.   G.E.Hervey menunjukkan bahwa, “Sudah menjadi hal yang biasa bagi raja Arakan, meskipun mereka Budha, untuk menggunakan istilah-istilah Mohamedan dalam nama mereka, bahkan mereka mengeluarkan koin yang disebut dengan Kalima, sebuah keyakinan dalam tradisi Mohamedan, dalam bahasa Persia.”

Praktek ini sudah lazim di kalangan raja-raja Arakan sampai paruh pertama abad ketujuh belas. Hal ini dikarenakan, mereka tidak hanya ingin dianggap sebagai sultan dengan segala haknya, tetapi juga karena ada banyak Muslim yang menjadi rakyat mereka.

Jadi, pengaruh Muslim di Arakan dapat dikatakan bermula pada tahun 1430, yaitu tahun pengembalian tahta raja Narameikhla. Selama pemerintahannya, terjadi perkembangan yang tak terduga, yang membuka jalan untuk periode dominasi Muslim di tanah Arakan. “Mulai saat itu dan seterusnya hubungan Muslim dengan Arakan menjadi lebih intim, dan selama sekitar dua abad Arakan dipersatukan dalam ikatan persahabatan dengan wilayah Islam. Sebagai akibat peradaban Islam, budaya Arakan juga maju, dan dengan demikian dimulailah ‘era keemasan’ dalam sejarah Arakan.”
Selama hampir satu abad, dari sekitar tahun 1580 sampai 1666 M, Chittagong berada di bawah aturan Arakan, dan atas  keistimewaan yang dimiliki Arakan dari kerajaan Bengal tersebut, mereka mengirimkan sejumlah rakyatnya, yang beragama Islam, ke Arakan sebagai buruh pertanian. Hal ini menjadi salah satu pemicu meningkatnya populasi umat Islam di Arakan. Apalagi selama abad 16 dan 17, orang-orang Arakan (yang disebut di Bengal sebagai Magh), bekerjasama dengan para pengembara Portugis dikenal sebagai orang yang suka merampas. Mereka merusak dan menghancurkan sebagian besar wilayah selatan dan timur Bengal.

Mereka membawa sejumlah besar laki-laki, perempuan, dan anak-anak dari kawasan pantai Bengal sebagai tawanan dan orang-orang Magh (Arakan) mempekerjakan mereka sebagai buruh tani. Kerajaan Arakan sangat jarang penduduknya dan membutuhkan banyak tenaga manusia untuk mengolah lahan pertanian mereka. Orang-orang Arakan mempekerjakan para tawanan ini di sekitar sungai Kuladan sampai Naf. Populasi Kula ini berjumlah sekitar 15% dari total populasi saat itu. A.P. Phayre menyebutkan bahwa “Kula atau Mossalman adalah ras yang benar-benar berbeda. Mereka adalah keturunan dari Bengali.”

Peristiwa berikutnya yang memicu pertumbuhan populasi umat Islam di Arakan adalah hijrahnya Shah Shuja, saudara dari raja Kerajaan Mughal yang bernama Aurangzeb, ke Arakan pada tahun 1660. Hijrah Shah Shuja ini membawa gelombang imigran Muslim ke kerajaan Arakan dan juga membawa perubahan politik di kerajaan tersebut. Setelah dikalahkan dan dikejar oleh Mir Jumla, Pangeran Shuja melarikan diri dari Bengal ke Arakan bersama dengan keluarga dan tentara-tentara kepercayaannnya. Awalnya mereka diterima dengan baik oleh raja Arakan, namun beberapa waktu berikutnya pangeran Shuja dan beberapa tentaranya dibunuh oleh raja Arakan pada tahun 1661.

Beberapa orang yang selamat dari pembantaian kemudian bergabung menjadi pengawal raja Arakan sebagai pasukan pemanah yang disebut sebagai Kaman. Dari 1666 sampai 1710 kekuasaan politik Arakan benar-benar di tangan mereka, di mana unit Kaman Muslim memainkan peran yang menentukan dalam penentuan seorang raja. Jumlah mereka semakin meningkat dari waktu ke waktu atas kedatangan para pendatang baru dari India. Keturunan mereka masih bertahan di Ramree dan beberapa desa dekat Akyab. Bahasa mereka adalah Arakan dan kebiasaan mereka mirip dengan kebiasaan Arakan dalam segala hal kecuali bahwa agama mereka adalah Islam.

Kaum Muslim di Arakan adalah keturunan Muslim Arab, Moor, Persia, Turki, Mughal dan Bengali yang kebanyakan datang sebagai pedagang, prajurit dan dai yang datang melalui jalur darat dan laut. Banyak dari mereka menetap di Arakan dan menikah dengan penduduk lokal yang kemudian menghasilkan keturunan yang dikenal dengan sebutan “Rohingya”.

Asal Mula Istilah Rohingya

Asal kata Rohingya hingga kini banyak menjadi perdebatan para ahli sejarah. Menurut etimologi, istilah “Rohingya” berasal dari kata Rohang, kata Rohingya untuk negara bagian Arakan. Meskipun beberapa sejarawan Rohingya, seperti Khalilur Rahman, berpendapat bahwa nama Rohingya mungkin berasal dari kata Arab ‘Rahma’ yang berarti ‘belas kasihan.’ Mereka melacak kembali sejarah adanya kapal Arab yang karam di abad ke-8. Menurut mereka, setelah kapal karam didekat Pulau Ramree, pedagang Arab diperintahkan untuk dieksekusi oleh raja Arakan. Lalu, mereka berteriak dalam bahasa mereka, ‘Rahma’. Oleh karena itu, orang-orang ini disebut ‘Raham’. Secara bertahap berubah dari Raham ke Rhohang dan akhirnya ke Rohingya.

Pendapat lain diutarakan  oleh Jahiruddin Ahmed dan Nazir Ahmed, mantan Presiden dan Sekretaris Konferensi Muslim Arakan. Mereka berpendapat bahwa mereka bertemu dengan Muslim Thambu Kya di pantai dekat Akyab. Muslim Thambu kya ini tidak mengklaim sebagai Rohingya dan dikenal sebagai Rohingya. Jika memang Rohingya berasal dari bahasa Arab “rahma”, tentunya muslim Thambu Kya ini menjadi pihak yang pertama kali disebut sebagai Rohingya. Menurut mereka, Rohingya adalah keturunan penduduk Ruha di Afghanistan.

Sejarawan lain, MA Chowdhury berpendapat bahwa istilah Roang/Rohang/Roshang berasal dari istilah lama Mrohaung, ibukota Arakan. Penduduk yang tinggal di Rohang/Roshang disebut sebagai Rohingya.

Pada sensus tahun 1911, Rohingya dimasukkan ke dalam etnis India dengan alasan bahwa mereka mempunyai kemiripan lebih dengan India dibandingkan dengan Burma. Sedangkan pada sensus tahun 1922 menyebutkan bahwa Rohingya adalah warga asli Arakan. Anomali sensus tersebut tak diragukan lagi mempengaruhi kontroversi mengenai asal mula Rohingya di Burma. Namun Rohingya mengklaim bahwa secara budaya mereka bukanlah India maupun Burma.

Salah seorang perwira tentara Inggris, yang bertugas di Arakan selama Perang Dunia kedua berkomentar tentang karakter etnis Muslim Arakan sebagai berikut:

“Kelihatannya, mereka cukup tenang, tidak seperti penduduk lain di India dan Burma yang pernah saya lihat. Mereka menyerupai orang Arab dalam hal nama, pakaian dan kebiasaan. Para wanita, terutama yang masih muda, mempunyai sentuhan Arab yang sangat khusus dalam diri mereka.”

Dikutip dari Syamina, Edisi Juni 2013 DVD MURATTAL
Share on Google Plus

About Muslimina

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment