3 SINYAL AHOK BAKAL KALAH
Calon petahana Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang sebelumnya digadang-gadang bakal kembali mulus menduduki tahta kini mulai diragukan banyak pihak.
Resistensi yang bertubi-tubi ternyata berhasil meruntuhkan dukungan masyarakat terhadap pasangan Ahok-Djarot. Jika melihat tren penurunan elektabilitas, peluang Ahok di Pilkada kali ini sangat tipis.
Ahok berpotensi gatot alias gagal total. Sinyal kekalahan Ahok setidaknya dapat diamati dari tiga hal, yakni:
1. Keok di survei
Elektabilitas Ahok dan Djarot Saiful Hidayat terjun bebas menjelang pemilihan gubernur, 15 Februari 2017 mendatang. Hal ini jika merujuk kepada hasil survei Charta Politika, yang dilakukan pada 17-24 November 2016, setelah Ahok ditetapkan sebagai tersangka.
Hasil jajak pendapat Charta Politika, pasangan Agus-Sylviana berada di urutan teratas dengan 29,5 persen suara, Ahok-Djarot 28,9 persen, dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno 26,7 persen. Sementara itu, responden yang belum menentukan pilihan sebanyak 14,9 persen.
Bahkan, data dari Lembaga Konsultan Politik Indonesia (LKPI) malah menempatkan pasangan Ahok-Djarot di titik nadir dari tiga pasangan calon lainnya. Polling yang dirilis Senin (14/11) itu menyebut Ahok-Djarot hanya memiliki elektabilitas 24,6%, di atasnya ada Anies-Sandi dengan 25,9%, sedangkan Agus-Sylviana tampil sebagai jawara survei dengan elektabilitas sebesar 27,6%. Sebanyak 21,9 % pemilih masih merahasiakan pilihannya.
Padahal, Berdasarkan survei yang dirilis Populi Center pada 25 April 2016, elektabilitas Ahok mencapai 50,8%, naik dari 49,5 persen pada bulan Februari.
Pada bulan Juli, elektabilitas Ahok yang diukur PRC PolMark masih bertahan di angka 42,7 persen. Ketika para pesaing sudah menentukan calon secara resmi, elektabilitas Ahok semakin melorot.
Tren elektabilitas Ahok mengalami penurunan sebesar 10,8 persen dalam rentang waktu Juli hingga Oktober. Bulan Oktober, elektabilitas Ahok turun menjadi 31,9 persen, sebelum akhirnya benar-benar tersungkur pada survei terbaru.
2. Partai pendukung mulai tak solid
Sejumlah kader partai pendukung sudah diketahui membelot dari Ahok, seperti Boy Sadikin dan sejumlah pengikutnya. Desas-desus partai pendukung yang mulai pikir-pikir untuk habis-habisan mendukung Ahok juga tak bisa dianggap sepele. Pasalnya, informasi ini sangat masuk akal jika memperhatikan konsekwensi politik di pemilu 2019 mendatang.
Aksi bela silam bertubi-tubi yang dilaksanakan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI, dan menjalar di seluruh Indonesia, bisa menjadi alasan kuat untuk partai pendukung yakni Nasdem, Hanura, dan Golkar tidak all out memberi dukungan. Tetap ngotot memenangkan Ahok, pertaruhannya bakal cukup besar. Pada Pemilu 2019, PDIP dan yang lain bisa saja ditinggalkan oleh konstituennya, terutama dari basis massa Islam.
Partai Golkar djuga pasti mempelajari karakter pemilih dari pendekatan sosiologis, kultural dan agama. Jika melihat peluang Ahok mulai menipis, tidak sulit bagi Golkar untuk lepas tangan.
Partai pendukung Ahok tentu tak mau kehilangan kepercayaan masyarakat pada pemilu 2019. Boleh jadi masyarakat akan menghukum partai pendukung jika Ahok nantinya menang. Hal inilah yang membuat kabar partai pendukung tidak solid tak bisa dianggap isapan jempol belaka.
3. Status Tersangka
Pada 16 November, Bareskrim menetapkan calon gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama. Kasus Ahok dilanjutkan ke penyidikan.
Menyandang status tersangka, Ahok pun dicegah ke luar negeri. Beruntung Ahok tidak langsung dijebloskan ke tahanan. Akan tetapi, kubu lawan malah menuding Ahok terlalu diistimewakan; perlawanan pun justru semakin beringas dan massif.
Ahok menjadi serba salah, dan tim sukses pun harus mengupayakan langkah-langka taktis untuk membendung serangan dari segala penjuru. Sampai hari ini, jika melihat survei, tim belum berhasil membendung tekanan dari kubu lawan. Buktinya, elektabilitas Ahok semakin terpuruk.
0 komentar:
Post a Comment