Antara Erdogan dan Lula Da Silva: Perjuangan Melawan Kepentingan Asing
oleh Mehmet Nedim Aslan
15 Juli, percobaan kudeta berdarah di Turki gagal. Para perwira tinggi dan tentara yang loyal kepada organisasi teror Gulenis memblokade beberapa jembatan dan lokasi strategis antara Ankara dan Istanbul serta berhasil merebut markas besar militer. Mereka mencoba menggulingkan presiden dan pemerintahan yang terpilih. Namun, ketika rakyat turun ke jalanan dan melawan mereka, maka kudeta itu gagal. Sayangnya 250 orang -kebanyakan penduduk sipil, tewas. Sejak itu anggota FETO -kebanyakannya tentara- dipecat dari posisinya. Menurut pengakuan mereka yang terlibat, kudeta dilaksanakan atas perintah langsung pemimpin FETO, Fethullah Gulen yang tinggal di Pennsylvania dan menyebut mereka yang meninggal karena melawan kudeta sebagai “orang bodoh”. Permintaan resmi Turki bagi ekstradisi Gulen, hingga kini belum dikabulkan AS.
Kudeta ini menjadi percobaan kudeta ketiga di Turki yang gagal sejak 2013. Pertama, percobaan kudeta lewat protes taman Gezi antara Mei dan Juni 2013, kemudian disusul upaya menggulingkan pemerintah lewat tuduhan korupsi pada Desember tahun yang sama. Negara yang mengalami nasib sama seperti Turki, namun kemudian dipaksa takluk dalam upaya kedua ‘kudeta ‘adalah Brazil.
Menarik untuk dicatat bahwa kedua kekuatan politik, AKP di Turki dibawah Recep Tayyip Erdogan dan Partai Pekerja Brazil yang dipimpin Luiz Inacio Lula da Silva dipilih oleh rakyat untuk memimpin negeri mereka pada 2002. Kedua negara pada awalnya berada di pinggir kebangkrutan politik dan ekonomi, namun berhasil dibenahi oleh kedua pemimpin tersebut. Kemenangan AKP di Turki dan Partai Buruh di Brazil merefleksikan kerinduan kalangan menengah bawah atas stabilitas di negara mereka yang hampir jatuh karena mis-manajemen ekonomi. GDP kedua negara meningkat signifikan dan menjadi zona nyaman untuk investasi asing.
Lula Brazil dan Erdogan Turki membawa stabilitas dan kemajuan cepat sehingga mulai memiliki pengaruh di arena internasional. Keduanya mengatur negaranya dengan ekonomi pasar bebas. Mereka juga berupaya melindungi kepentingan ekonomi nasional mereka, dan setelah 2007, kapasitas ekonomi mereka sama besarnya dengan negara-negara Barat. Sejak itu, pemimpin Turki dan Brazil mulai mengembangkan kebijakan regional dan internasional yang berseberangan dengan kepemtingan Washington dan negara-negara Barat lainnya. Kedua pemimpin mengunjungi Teheran pada 2010 untuk menandai perjanjian dengan Iran untuk mendukung program nuklir non militer di tengah embargo Barat dan ancaman perang. Meskipun perjanjian tersebut hampir sama dengan tuntutan Barat, namun manuver Ankara dan Brazil tidak diterima dengan baik oleh para pemimpin Barat.
Kedua pemimpin mempunyai pendirian yang sama tentang penjajahan Israel di Palestina, yang berbeda dengan kebijakan Barat. Keduanya jelas mendesak Israel harus mundur dari perbatasan 1967, menghentikan pemukiman ilegal Yahudi dan mengakhiri blokade atas Jalur Gaza. Selain memiliki kebijakan yang berbeda dengan pandangan hegemonik barat, Erdogan dan Lula Silva juga mempertanyakan struktur organisasi PBB yang tidak adil. Keduanya melakukan pendekatan alternatif atas poros kebijakan internasional yang selama ini Barat-sentris.
Setelah dua kali masa jabatan. Lula menyerahkan kekuasaannya kepada teman dekatnya, Dilma Rousseff pada 2011. Dia mengikuti kebijakan politik dalam maupun luar negeri pendahulunya. Meskipun dalam pemilu 2002, kelompok menengah hanya mencakup 38 persen dari total penduduk Brazil, namun pada pemilu 2014, jumlah mereka meningkat menjadi 55 persen dan peningkatan tersebut dapat disematkan kepada sukses kebijakan ekonomi Lula dan Rousseff. Stabilitas ekonomi Turki dan Brazil pada 2007 menyamai negara-negara maju lainnya, sehingga tidak pelak memberikan energi kepada negara-negara lain untuk bangkit sejajar dengan Barat.
Meskipun mungkin dapat dikatakan kebetulan, protes anti pemerintah terjadi hampir bersamaan antara Turki dan Brazil. Insiden taman Gezi dari aksi kelompok kecil yang memprotes rencana pembangunan taman, -dengan dukungan media Barat- menjadi aksi protes besar-besaran yang menyebar di seluruh penjuru Turki menuntut Erdogan mundur. Realitasnya, kampanye media melawan pemerintah ternyata adalah kampanye melawan Turki karena diketahui kemudian bahwa FETO dalam kepolisian sengaja membiarkan aksi protes itu membesar.
Sementara, di Brazil, aksi protes masyarakat atas pelayanan transportasi publik, ternyata berubah drastis menjadi protes nasional yang menuntut pemerintah mundur. Seperti di Turki, para pemrotes di Brazil juga menyerang kantor-kantor pemerintah sehingga menjadi aksi kekerasan. Namun tindakan tegas pemerintah di kedua negara berhasil menghentikan kekerasan, hanya saja ini belum berakhir.
Pada Desember 2013, empat menteri Erdogan dituduh korupsi. Kasus korupsi ini dituduhkan saling terkait, yang menyeret keluaga Erdogan tidak lama setelah keluarnya dokumen palsu. Namun kemudian terkuak bagaimana keterlibatan para anggota FETO dalam instituti keamanan dan peradilan. Karena ketegasan Erdogan, maka upaya itu berhasil digagalkan. Terkuak kemudian jika kelompok teroris ini juga menggunakan ancaman dan pemerasan lawan-lawan politinya untuk mendapatkan uang dalam jumlah besar. Media barat -yang menarik- menyembunyikan fakta tentang FETOdan sebaliknya menjustifikasi tindakan mereka dalam melawan pemerintah Erdogan.
Meskipun upaya kudeta di Turki gagal, namun di Brazil, pemerintah berhasil dijatuhkan atas tuduhan korupsi. Sama halnya seperti di Turki, ada anggota parlemen dalam pemerintahan Erdogan yang mendukung FETO, di Brazil, beberapa anggota Partai Pekerja berkhianat karena mendukung penggulingan Rousseff. Para koleganya di parlemen menuntut Lula dan Rousseff diadili.
Operasi kedua melawan Lula dan Rousseff dimulai pada pertengahan 2014 dengan tuduhan bahwa beberapa manajer perusahaan minyak Petrobas telah menyuap dan mentransfer uang kepada sejumlah tokoh politik selama 10 tahun. Pertamanya, tuduhan hanya diarahkan kepada beberapa manajer dan politisi yang tidak terkenal, namun tidak lama kemudian, operasi itu ternyata menarget Lula dan Rousseff, karena keduanya menduduki jabatan di dewan komisaris Petrobas. Setahun sebelum kasus itu dibongkar, terkuak jika Amerika telah memata-matai Petrobas dan memasang penyadap di perusahaan telekomunikasi negara, termasuk kepada Rousseff sendiri. Ini setidaknya memperkuat tuduhan bahwa AS memiliki peran penting dalam memainkan kasus Rousseff dan mengaitkan Lula dalam skandal Petrobas, berikut upaya untuk menjatuhkannya.
Seperti terjadi di Turki, ribuan transkrip pembicaraan telpon disebarkan ke publik untuk memperkuat tuduhan korupsi atas Rousseff dan Lula. Meskipun tidak ada bukti langsung keterlibatan Rousseff, 12 Mei lalu, dia diberhentikan dari partai setelah voting. Mantan ketua parlemen, Eduardo Cunha, yang memimpin upaya penyingkiran Rousseff juga dipecat dari poisisinya sebulan kemudian karena korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Pada waktu yang sama, pengunduran diri Menteri Transportasi Fabiano Silveira dan Senator dari Romaira, Romero Juca setelah terbukti memanfaatkan impeachment atas Rousseff untuk mengalihkan perhatian terhadap tuduhan korupsi dirinya. Ini menunjukkan sebagaimana di Turki ada upaya kudeta atas Presiden terpilih Brazil Dilma Rousseff yang sebagiannya didukung kolega dalam partainya sendiri. Diketahui pula bahwa pejabat presiden sementara Brazil Michel Temer adalah sosok yang dikenal dekat dengan CIA. Informasi ini sendiri dikonfirmasi dalam dokumen Wikileaks, bahwa posisi ekonomi Temer dalam pemerintahan masuk lewat jalur IMF dan Goldman Sachs.
Meskipun Brazil gagal dalam kudeta keduanya, namun Turki berhasil lolos. Rakyat Turki percaya bahwa AS dan negara-negara Barat berada dibalik kudeta 15 Juli lalu. Ini tidak hanya karena Fethullah Gulen tinggal di Amerika dan enggan mengekstradisinya ke Turki, namun pejabat militer AS sendiri mengatakan bahwa “sejumlah sekutu dekat AS di tubuh militer Turki telah ditangkap pasca kudeta.” Dukungan media AS dan Barat atas kudeta juga cukup memberi bukti keterlibatan mereka.
Melalui operasi kudeta yang dilakukan Lula dan Rousseff di Brazil dan Erdogan di Turki, Brazil kini kalah dalam putaran kedua, dan Turki masih bertahan. Sementara Brazil kini keluar dari arena internasional, Turki masih bertahan sebagai satu-satunya negara yang independen dan berani melawan kepentingan politik dan ekonomi Barat.(permatafm)
0 komentar:
Post a Comment