Rezim Jokowi : Dari Watak Mbulet dan Suka Ngeles Sampai Mau Gusur Doa Islami
Dalam pergaulan sering terdengar lafal “ngeles”. Lafal itu muncul karena memang ada orang tertentu yang gemar “ngeles”. Dalam sebuah blog ada yang menulis begini: Ngeles itu artinya menghindar dari kesalahan, pembicaraan, perdebatan.
Menghindar itu bisa dengan menimpakan kesalahan ke orang atau objek lain, atau menjawab dengan jawaban yang tidak nyambung. Sepertinya pernyataan pernyataan pejabat/mantan pejabat, artis, politisi dll di surat kabar atau tv isinya ngeles terus, apalagi yg lagi sibuk menangkis isu/rumor yang sedang dihadapinya.
Contoh, Versi pejabat kasus korupsi, "...saya tidak menerima suap apapun,…” (lihat thecrowdvoice.com, diisingkat). Selanjutnya, mari kita simak mengenai watak mbulet.
Watak Mbulet, Modal Sukses Orang dan Media di Indonesia
Apa itu mbulet?
Mbulet adalah lafal dari Bahasa Jawa, artinya (sikap atau perkataan) memutar-mutar, sulit dipegang, sulit dipercaya, (mengandung makna pandai berkelit dan berkilah plus ndableg dan tebal muka atau nekad).
Watak mbulet (berkelit, tidak mudah diusut dan sulit dipercaya) tampaknya sudah mewabah di Indonesia. Siapa yang paling mbulet maka boleh jadi akan mendapatkan tempat di jajaran paling depan.
Ini bukan memukul rata manusia Indonesia ataupun media massa. Tetapi tampaknya sudah sampai mewabah di kalangan manusia Indonesia, bahkan media massa.
Coba kita tengok beberapa waktu yang lalu. Bagaimana media tega sampai membuat judul Royalti “Tak Gendong” (Nyanyian Mbah Surip) tembus Rp10 Miliar, padahal media itu media terkemuka, dan mereka tahu bahwa itu hanya pepesan kosong tanpa isi; kalau bukan karena media itu menyadari bahwasanya bermodal mbulet itulah jatidiri media ini dapat meraih barisan terdepan.
Boleh dibilang, watak mbulet yang sebenarnya merugikan banyak orang itu justru jadi modal orang-orang tertentu dan bahkan media-media tertentu untuk meraih sukses.
Oleh karena itu umat Islam perlu kembali mengikuti petunjuk dari Allah Ta’ala, dalam hal menghadapi kondisi masyarakat ataupun media yang wataknya mbulet itu. Karena sudah ada peringatan dari Allah Ta’ala yang cukup tegas:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ(6)
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS Al-Hujurat: 6).
Hantam Kromo
Ketika sudah ada peringatan dari Allah Ta’ala seperti itu, maka kita perlu waspada, kritis, dan bijak. Tidak grusa-grusu atau ujas-ujus, hantam kromo (main sabet) saja.. namun sayangnya, peringatan dari Alquran itu tidak diperhatikan banyak orang walau secara jumlah, Indonesia adalah negeri terbesar di dunia jumlah umat Islamnya, lebih dari 200 juta orang.
Kenapa?
Karena rujukan kebanyakan orang adalah tontonan di tv dan apa yang mereka dengar atau baca dari media massa. Sedangkan media massa telah menjerumuskan sejengkal demi sejengkal tiap saat ke arah pembinaan watak buruk yang dapat ditandai dengan membentuk manusia berwatak mbulet dan suka ngeles seperti tersebut di atas.
Akibatnya, begitu diangkat dan diusung sosok yang telah jadi teladan dalam hal karakternya yang sudah terbentuk yaitu berwatak mbulet dan suka ngeles itu, maka dia lah yang dipilih oleh masyarakat korban jerumusan media massa itu.
Begitu duduk di kepemimpinan, maka karakter yang telah terbentuk itupun dipraktekkan dengan seksama. Hasilnya, sangat mencengangkan banyak orang. Terjadilah apa yang terjadi. Di antaranya contoh berikut ini.
Itu bukan urusan saya, itu urusan polisi
Tindakan satuan polisi yang membubarkan demonstrasi hingga melecehkan tempat ibadah umat muslim di Pekanbaru dan Makassar, telah menuai kecaman dari berbagai pihak salah satunya dari anggota Dewan Perwakilan Rakyta (DPR) sebagaimana diberitakan Islamedia.co.
Yang lebih memprihatinkan hingga menyeruak komentar-komentar pedas adalah karena kasus yang sampai dinilai melecehkan mushalla, rumah Allah. Karena aparat menginjak-injak mushalla tanpa melepas sepatu demi menggebuki mahasiswa yang baru saja selesai shalat ashar. Namun anehnya, kezaliman dan pelecehan terhadap rumah ibadah itu ditanggapi dingin oleh Jokowi, padahal di Makassar sampai ada pendemo yang tewas bahkan kabarnya kepalanya kena tembak hingga otaknya mengalir keluar .
Presiden Joko Widodo menanggapi santai, terkait adanya seorang demonstran yang tewas saat demonstrasi menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), di Makassar Sulawesi Selatan.
“Itu kan sebenarnya urusan di kepolisian,” kata Presiden Jokowi, di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (28/11/2014), tulis Islampos.com.
Dari situlah kemudian sangat ramai di media social kecaman terhadap ungkapan: “Bukan Urusan Saya, Itu Urusan Polisi”.
Ketika diurut-urut, ternyata lafal ”bukan urusan saya” itu diucapkan ketika Jokowi sudah terpilih jadi presiden, hanya belum dilantik, dan tadinya adalah Gubernur DKI Jakarta. Di saat itu di mana-mana banyak orang antri bahan baku minyak (BBM) karena sedang langka. Ketika Jokowi ditanya, cukup dia jawab: Bukan urusan saya.
Begitulah. Media massa telah membentuk karakter manusia sejengkal demi sejengkal hingga akhirnya goal dan para korbannya tinggal gigit jari sambil masih diseret oleh media massa entah mau dikemanakan. Nasehat dari Yang Maha Mulia, Allah subhanahu wa ta’ala diabaikan, sedang “nasehat buruk” dari media massa yang menggiring ke jurang penyesalan justru diikuti dengan bangga. Di dunia saja sudah gigit jari, apalagi di akherat kelak, bila tidak kembali ke jalan Allah Ta’ala.
Menjauhkan dari Hidayah Allah
Semoga kita dihindarkan dari “nasihat-nasihat buruk” para wadyabala syetan yang kini di antaranya lewat media massa yang anti Islam yang telah menjerumuskan kaum Muslimin ke jurang yang jauh dari hidayah Allah.
Betapa mengenaskannya, ketika para korban media massa itu sedang mengelus dada, tahu-tahu akan disuguhi tontonan ramai-ramai pesta kekufuran dengan biaya besar Rp20 miliar, yaitu Jokowi dan Isterinya akan natalan di Papua. Padahal biaya itu (bila memang sebagaimana biasanya negeri ini sering menaikkan pajak dan BBM, yang tentunya yang terkena adalah rakyat maka berarti) disedot dari kantong penduduk yang mayoritasnya umat Islam. Kalau memang demikian, betapa teganya mereka itu.
Kasus mau menggusur doa Islami di sekolah
Itulah di antara dampak dari watak mbulet dan gemar ngeles. Terakhir cara buruk itu pun ditiru menteri pendidikan Anies Baswedan. Ketika dia mau menggusur doa cara Islam di sekolah untuk diganti doa kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan alasan agama yang dipeluk bukan hanya Islam, maka mendapatkan protes keras dari umat Islam. Dia dicurigai akan menyusupkan paham pluralisme agama alias kemusyrikan baru untuk para murid sekolah.
Ramainya protes umat Islam itu menjadikan urungnya “pemberedelan” doa cara Islam di sekolah, tapi perlu diingat, menterinya Jokowi ini juga bermodal ngeles pula. Watak mbulet dan gemar ngeles rupanya sudah jadi modal “berharga” di kalangan mereka. Padahal, dalam Al-Qur’an, orang yang berwatak seperti itu telah dikecam sebagai golongan yang tidak adil, mengikuti hawa nafsu, menyimpang dari kebenran, dan memutar balikkan kata-kata. Selayaknya mereka merenungi ayat ini:
۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٰمِينَ بِٱلۡقِسۡطِ شُهَدَآءَ لِلَّهِ وَلَوۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمۡ أَوِ ٱلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَۚ إِن يَكُنۡ غَنِيًّا أَوۡ فَقِيرٗا فَٱللَّهُ أَوۡلَىٰ بِهِمَاۖ فَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلۡهَوَىٰٓ أَن تَعۡدِلُواْۚ وَإِن تَلۡوُۥٓاْ أَوۡ تُعۡرِضُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٗا ١٣٥
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (QS An-Nisaa’: 135).
Itu semua sebenarnya hanya menjadi alat dan perwujudan dari sikap zalim. Sedang kezaliman tertinggi itu adalah terhadap agama. Dalam kasus yang dibicarakan ini, lafal “itu urusan polisi”, padahal sudah menyangkut penodaan tempat suci/ rumah Allah, dan menjadi tanggung jawabnya pula; bukankah itu kezaliman terhadap agama? Demikian pula ketika mau merekayasa doa yang Islami di sekolah untuk digusur dan diganti dengan lainnya, bukankah itu merupakan kezaliman terhadap agama?
Masih ada lagi, Dirjen Bimas Islam Kemenag, Machasin, ingin menggusur keimanan kaum Muslimin berganti dengan pluralisme agama alias kemusyrikan baru, dengan membolehkan kaum Muslimin baik itu para karyawan atau pun buruh untuk memakai simbol-simbol natalan kaum Nasrani. Ketika dalam hal bisnis maka dia bolehkan. Bukankah itu kezaliman terhadap agama Umat Islam? Padahal sudah ada penegasan dari Nabi shalalahu ‘alaihi wa sallam:
" مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ "، الراوي: عبدالله بن عمر المحدث: ابن حبان - المصدر: بلوغ المرام - الصفحة أو الرقم: 437
خلاصة حكم المحدث: صحيح
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka”. (HR Ibnu Hibban dari Abdullah bin Umar, shahih).
Sekali lagi, ingatlah ayat Allah:
فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٗا ١٣٥
…maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (QS An-Nisaa’: 135).
Jakarta, Shafar 1436H/ Desember 2014.
Hartono Ahmad Jaiz
0 komentar:
Post a Comment