Kendati Larangan Burkini Dicabut, Diskriminasi Muslim Terus Berlanjut

Beberapa minggu setelah serangan teroris di Selatan Perancis yang menewaskan 86  warga, sekelompok politisi secara kontroversial memancing debat nasional karena menyerukan pelarangan  burkini (pakaian hijab pantai) bagi Muslimah. Smile 13, LSM Muslim dari Marseille menyelenggarakan acara kontes burkini di tempat bermain khusus perempuan. Dalam leaflet yang mereka sebarkan menyebutkan bahwa para perempuan yang hadir disarankan memakai pakaian yang ‘sopan’ seperti burkini, yakni pakaian renang yang menutupi seluruh tubuh dengan penutup kepala.

Beberapa hari kemudian, walikota Cannes, 30 km dari Nice, seperti hendak merespon serangan terorisme, memutuskan melarang pemakaian burkini di pantai-pantai mereka. Tidak lama, 30 kota lainnya menyusul langkah kontroversial ini dengan menggunakan istilahnya sendiri:

“Dari semua area pantai umum, akses berenang dilarang dari 15 juni hingga 15 September bagi siapapun yang tidak berpakaian, yang menghormati kewajaran, prinsip sekularisme serta sesuai dengan peraturan keselamatan dan kesehatan. Memakai pakaian, saat berenang, yang memiliki konotasi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang disebut diatas, secara keras dilarang di pantai-pantai kotamadya.”
Dua LSM, Aksi Bersama Anti Islamophobia (CCIF) dan Liga HAM membawa kasus ini ke pengadilan.

Secara mengejutkan, para hakim setuju untuk menguatkan larangan tersebut dengan argumen:

“Dalam konteks keadaan darurat dan serangan Islamis terbaru di Nice sebulan silam, memakai pakaian yang berbeda, diluar pakaian renang yang biasa, dapat dianggap sebagai lebih dari sekedar tanda relijiusitas.”

Ya anda sepenuhnya benar, jika membaca bahwa para hakim tersebut menegaskan secara implisit hubungan antara pakaian keagamaan dengan aksi terorisme.

Setelah banding, kasusnya masuk ke Mahkamah Agung atau “Conseil d’Etat” yang kemudian memberikan putusan finalnya pada 26 Agustus, larangan tersebut dicabut:

“Keputusan hukum yang diperselisihkan merupakan pelanggaran serius atas kebebasan fundamental, yakni kebebasan bergerak, kebebasan berkeyakinan dan kebebasan individu.”

Tampak sepertinya keputusan ini akan mengakhiri perdebatan tidak berujung yang mengguncangkan Perancis selama beberapa minggu.

Namun jauh dari sikap menerima keputusan hukum, banyak politisi yang justru melakukan serangan balik.

Beberapa jam sebelum keputusan diumumkan , PM Perancis, ManualValls, bersikeras di akun facebook-nya bahwa memakai burkini dianggap sebagai tindakan politik:

“Mengecam pemakaian burkini tidak sama sekali merusak kebebasan individu. Tidak ada kebebasan yang memerangkap perempuan! (saya) mengecam Islamisme yang membunuh dan mundur kebelakang.”

Para walikota yang melarang  burkini juga mengabaikan keputusan Mahkamah Agung karena menganggap (pelarangannya) tersebut  hanya berlaku untuk kota tertentu saja. Keputusan MA menyebutkan bahwa tidak ada bukti yang ditunjukkan bahwa pemakaian burkini telah menyebabkan gangguan atas ketenangan masyarakat. Lantas apa dalih mereka? Dikatakan bahwa insiden para Muslimah yang dilecehkan di Marseille dan Nice justru menjadi gangguan dalam masyarakat.

Perancis kini banyak dikritik dunia karena penerapan standar ganda dalam prinsip liberty, equality, fraternity sepanjang berkaitan kaum Muslimin.
Jauh dari semangat hukum 1905 yang menerjemahkan konsep laicete (sekularisme), dimana Gereja dipisahkan dari negara, pemerintah Perancis sejak 15 tahun lalu tidak pernah berhenti untuk mengendalikan kebangkitan Muslim dan menekankan versi Islamnya sendiri kepada masyarakat Muslim.

Kontroversi nasional yang dipantik oleh beberapa politisi populis, stigma terhadap Islam yang dilakukan beberapa media dan serangan teroris terbaru seperti menyediakan semua bahan baku untuk meyakinkan rakyat Perancis bahwa Islam sama sekali tidak cocok dengan Republik.

Seperti yang kita tebak hasilnya, laporan terbaru CCIF setelah serangan Charlie Hebdo, Islamophobia tidak pernah begitu dahsyat seperti sekarang ini di Perancis:

“Serangan terhadap masjid-masjid, ancaman pembunuhan terhadap wanita bercadar, anak-anak sekolah yang dilecehkan oleh para gurunya, propaganda ujar kebencian dan bahkan deklarasi perang terhadap Muslim yang digambarkan mereka sebagai “kelompok pengkhianat”.

Sayangnya, situasi sekarang tidak menjadi lebih bagus. Dengan semakin mendekatnya pemilu presiden, kampanye untuk mengalahkan Partai Sayap Kanan “Front Nasional” pun dimulai. Partai-partai besar kini juga mencoba menggunakan retorika anti Muslim seperti halnya Partai Marine Le Pen  yang tengah memimpin sementara polling.

Menyerang Muslim kini menjadi salah satu strategi favorit untuk memenangkan pemilu dan mendapatkan simpati dari semua lapisan politik di Perancis. Mantan Presiden Nicolas Sarkozy, yang maju lagi dalam pencalonan, baru-baru ini menyatakan:

“Tidak dengan semua agama, republik ini menghadapi kesulitan, kecuali satu (Islam).”

“Kita tidak ingin ada para perempuan berjilbab di Perancis.” 

Gambar petani perempuan Perancis dengan jilbab hijau
 Selama bertahun-tahun, para politisi yang tidak bertanggung jawab ini mendemonisasi Muslim dan mengeksploitasi masyarakat Perancis dengan ketakutan dan ancaman kehilangan identitas mereka. DVD MURATTAL
Share on Google Plus

About Muslimina

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment