Antara Buruh Sate dan Wimar Witoelar


Kasus bullying oleh Muhammad Arsyad (MA) terhadap Jokowi memasuki babak baru. Kepolisian memutuskan untuk membebaskan buruh sate tersebut setelah menangguhkan penahanan.

Sebelum dibebaskan, kedua orang tua MA secara khusus mendatangi Kompleks Istana Kepresidenan untuk bertemu Jokowi secara langsung.

Orang tua MA meminta maaf atas tindakan yang telah dilakukan anak mereka di dalam internet. Dia bahkan rela menukar nyawa asal sang anak dibebaskan.

Namun, meski mendapatkan penangguhan, kasus hukum MA terus berjalan. Menurut Kepala Kepolisian RI Jenderal Pol Sutarman, penangguhan penahanan bukan berarti menghentikan proses hukum MA.

Kepolisian, menurut dia, sudah memberikan pelajaran kepada masyarakat agar lebih berhati-hati dalam berkomunikasi melalui media sosial.

“Saya kira masyarakat harus tahu. Siapa lagi yang akan menghormati simbol negara kalau bukan kita?” ucap Sutarman.

MA dijerat dengan pasal tentang konten asusila pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Pornografi, dan KUHP. Dia terancam hukuman pidana penjara selama 12 tahun.

Sejatinya, kasus penghinaan di wilayah publik tidak hanya menimpa MA. Publik tentu masih ingat dengan kasus Wimar Witoelar di masa kampanye. Pendukung capres nomor 2 itu mengunggah foto yang menghina Muhammadiyah dan para tokoh Islam lainnya.

Dari foto, terlihat Prabowo bersama Hatta Rajasa bersama serta elite partai pendukungnya. Seperti Anis Matta, Aburizal Bakrie, Suryadharma Ali hingga Tifatul Sembiring.

Di bagian bawah foto itu, terpampang logo partai dan beberapa ormas Islam seperti Muhammadiyah. Wimar lantas memberikan komentar nista. “Gallery of Rogues.. Kebangkitan Bad Guys” (Galeri Bajingan.. Kebangkitan Orang Jahat).

Tindakan penghinaan Wimar inipun menyulut kemarah masyarakat. Elemen Muhammadiyah mengaku tidak diterima.

Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar, lantas melaporkan Wimar Witoelar ke Polda Metro Jaya pada 30 Juni 2014.

Dahnil Anzar mengatakan tindakan Wimar yang mengunggah gambar tersebut dinilai menghina Muhammadiyah. Seolah-olah gambar tersebut menuduh Muhammadiyah sebagai bajingan, kemudian kelompok bad guy. “Itu penghinaan luar biasa bagi Muhammadiyah. Penistaan terhadap kelompok,” ujarnya Dahnil.

Wimar yang juga jubir Presiden Abdurrahman Wahid itu kemudian dijerat dengan pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik dan fitnah. Serta Pasal 45 UU RI Nomor 2008 tentang ITE.

Namun sejak lima bulan lalu, laporan dari Pemuda Muhammadiyah itu mangkrak di kepolisian. Kasus Wimar tiba-tiba tenggelam. Hingga kini tidak terdengar adanya upaya serius dari pihak Kepolisian untuk mengusut tuntas penghinaan tersebut. Bahkan untuk sekedar memanggil Wimar untuk dimintai keterangan.

Permintaan maaf Wimar sejatinya tidak cukup untuk membayar luka Muhammadiyah dan umat Islam Indonesia. Harus ada efek jera agar kasus serupa tak berulang.

Bukankah itupula yang dilakukan MA: mengaku khilaf, meminta maaf, bahkan sang ibu rela sujud di hadapan manusia. Namun, Polisi tetap dalam pendiriannya untuk melanjutkan kasus hukum MA.

Jika MA diperkarakan karena telah menghina simbol negara, bukankah Tifatul saat dihina Wimar masih menjadi simbol negara dengan jabatan Menkominfo?

Bahkan Muhammadiyah bukan saja menjadi simbol Indonesia, tapi dia telah berjasa membangun negeri selama satu abad. Jauh sebelum Republik ini lahir, Muhammadiyah telah mengorbankan nyawanya. Para tokoh Muhammadiyah berperan besar membawa bangsa ini ke gerbang kemerdekaan.

Jadi jika seluruh nalar itu sudah dipahami kepolisian, kita khawatir perbedaan perlakuan polisi kepada MA dan Wimar hanya karena masalah status. MA hanyalah buruh sate, wong cilik dan rakyat biasa. Sedangkan Wimar adalah mantan pejabat negara, dan yang lebih penting: dia pendukung sang penguasa. [ip] DVD MURATTAL
Share on Google Plus

About MUSLIMINA

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment