Blokade Qatar Ternyata Lebih Banyak Terkait dengan Kepentingan Israel
Nasim Ahmed
Para pejabat Israel boleh jadi sekarang bersuka cita menyambut blokade koalisi Saudi atas Qatar. “Negara-negara Arab Sunni, diluar Qatar, sekarang berada dalam kapal yang sama dengan kita karena kita semua melihat nuklir Iran sebagai ancaman nomer satu terhadap kita semua,” kata mantan Menhan Israel Moshe Ya’alon. Blokade tersebut merepresentasikan “garis baru di padang pasir Timur Tengah,” twit mantan Duta Besar Israel untuk Washington Michael Oren saat menanggapi kekacauan di Timur Tengah. “Tidak lagi Israel dianggap musuh oleh Arab, namun sekarang Israel dan Arab bersama-sama memerangi teror yang dibiayai Qatar,” tambahnya.
Menhan Israel Avigdor Lieberman menggambarkan krisis ini merupakan kesempatan emas bagi Israel dan negara-negara Teluk “tertentu”. “Jelas bagi kita semua, bahkan di negara-negara Arab, musuh mereka bukanlah Israel, namun terorisme Islam di kawasan ini,” tandasnya. Menhan dari partai fundamentalis sayap kanan Israel ini menambahkan bahwa blok pimpinan Saudi telah memutuskan hubungan dengan Qatar “bukan karena Israel, bukan karena Yahudi dan juga bukan karena Zionisme, namun karena takut terorisme.”
Dengan bersuka cita atas negara yang digambarkan Israel sebagai “penyakit di pantat ini” tidak pelak menimbulkan sejumlah pertanyaan, setidaknya keterkaitan antara pemberlakuan blokade Saudi atas Qatar dengan pengajuan RUU pemberian sanksi atas negara asing yang dianggap mendukung “terorisme Palestina” oleh anggota Konggres dari Partai Republik Brian Mast atau beberapa tujuan lain yang belum terungkap.
Berkaitan dengan pengajuan UU bipartisan (HR 2712 UU Pencegahan Dukungan Terorisme Internasional Palestina), anggota Konggres Joshua Gotterheimer mengatakan, “Saya bangga untuk memimpin upaya untuk melemahkan Hamas, jaringan teroris keji yang bertanggung jawab atas kematian banyak warga sipil, baik Israel dan Amerika”. Menurutnya, “UU bipartisan kami akan menjamin bahwa setiap orang yang memberikan bantuan kepada musuh AS dan sekutu penting kita, Israel akan menghadapi kekuatan dan tekad kita.”
Dalam pengakuan mereka, para sponsor UU ini menyebutkan bahwa Hamas telah menrima bantuan keuangan dan militer besar dari Qatar. Mereka mengutip contohnya konferensi pers di Hotel Sheraton Doha, Qatar dimana Hamas meluncurkan dokumen Prinsip dan Kebijakan Umum, yang disebut sebagai piagam baru Hamas. “Meskipun dokumen ini dimaksudkan untuk mengungkapkan sisi moderat Hamas dengan mengacu kepada perbatasan 1967,” namun mereka menuduh Hamas “tidak benar-benar menghilangkan atau menggantikan piagam aslinya, dan terus melanjutkan terorisme untuk menghancurkan Israel.”
RUU yang akan memberikan sanksi kepada negara asing yang memberikan dukungan kepada Hamas menyebutkan: “Ini akan menjadi kebijakan AS untuk mencegah Hamas, Jihad Islam atau afiliasi atau penggantinya untuk mendapatkan akses dukungan jaringan internasional.”
Sementara menandaskan implikasi dari legislasi ini, patut diingat bahwa kebanyakan proposal dalam RUU baru ini sebenarnya tumpang tindih, kecuali di bagian Qatar. Lembaga riset Arab Centre Washington DC menunjukkan RUU ini memperkenalkan sanksi yang sebenarnya telah diatur dalam UU yang telah ada. Hamas dan Jihad Islam telah masuk dalam daftar organisasi teroris asing (FTO) oleh AS. Dengan demikian, menjadi tidak sah bagi institusi atau lembaga AS untuk mendukung kelompok ini. Dengan demikian, RUU ini menjadi tumpang tindih.
Selanjutnya, lembaga riset ini menunjukkan bahwa sebenarnya RUU ini secara resmi hendak menarget Iran, namun langkah inipun dipandang tidak tepat karena Teheran sudah dimasukkan AS sebagai negara sponsor teror dan larangan ekspor senjata, dukungan teknis dan keuangan sudah ada dalam UU sebelumnya. Tampaknya, maksud RUU ini hendak menarget Qatar. Keinginan tersembunyi untuk menyerang Qatar menjadi motif terkuat para pendukung RUU ini. Seperti Gottheimer katakan, “Saya bangga untuk mendukung UU Pencegahan Dukungan Terorisme Internasional Palestina yang menjadikan negara-negara seperti Qatar membayar mahal atas dukungan mereka terhadap terorisme. Dalam perang melawan terorisme tidak ada pihak yang berada di tengah. Jika anda mendukung terorisme, keadilan pada akhirnya ditegakkan.”
Maka, apa kaitannya dengan Israel? Ketika Israel tidak dapat bergabung secara langsung dengan manuver Saudi untuk memblokade Qatar, mereka jelas tidak akan berhenti untuk ikut ambil bagian berada di belakang layar bersama Uni Emirat Arab membantu lobi para politikus AS. UU ini realitasnya legislasi anti Qatar dan memberikan landasan penting bagi besarnya spektrum blokade atas negara itu.
Belum lagi bahwa para anggota legislatif sponsor RUU ini mendapatkan bantuan keuangan besar dari para pelobi pro Israel dan dari kelompok lobi yang berkerja untuk kepentingan Uni Emirat Arab dan Saudi. Baru-baru diberitakan bahwa 10 anggota legislatif AS yang mensponsori RUU anti Qatar ini menerima lebih dari 1 juta dolllar selama 18 bulan dari para pelobi yang terkaita dengan Israel, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
Penulis dan pengamat politik Trita Parsi percaya bahwa ada kesamaan antara daftar teror negara-negara Arab sekutu AS ini dengan RUU HR 2712 ini pada satu sisi dan di sisi lain, semakin kuatnya kerjasam antara negara-negara Teluk dengan Israel. Parsi mengatakan kepada Al Jazeera, “Apa yang baru adalah kita melihat pelbagai kelompok pro Israel seperti Foundation for Defence of Democracies” bersama-sama bahu membahu dengan kelompok lobi pro Saudi di Capitol Hill.”
Maksud dari narasi politik untuk mendukung blokade ini juga diberitakan awal bulan lalu oleh The Intercept. Laman ini menyatakan bahwa email-email yang dirilis kelompok yang disebut “Global Leaks” telah menunjukkan bahawa Duta Besar Uni Emirat Arab untuk AS, Yousef Al Oteiba dan pendiri lembaga thing tank pro Israel telah bekerja sama dalam menyudutkan Qatar. Email yang didapatkan oleh The Intercept menunjukkan bagaimana FDD dan Uni Emirat Arab membayar para jurnalis untuk mempublikasikan tulisan-tulisan yang menuduh Qatar dan Kuwait mendukung terorisme.
Maka bukan hal yang mengejutkan bahwa alasan utama dibalik blokade agak tidak masuk akal. Bagi Saudi dan Uni Emirat Arab yang menuduh Qatar mendukung terorisme seperti ungkapan “the pot calling kettle black”. Tidak ada substansi dari tuduhan tersebut, karena hingga sekarang AS masih tetap berdagang senjata dengan Qatar dan negara itu masih menjadi pangkalan militer utama AS. Alasan yang disebutkan tadi tidak memiliki dasar sama sekali. Lantas? Blokade Qatar hanya dapat dipahami sebagai upaya isolasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk menghabisi perlawanan rakyat Palestina dengan mengatasnamakan perang melawan terorisme. Baik Qatar maupun negara-negara Teluk tidak dapat mengambil manfaat dari pertikaian mereka, kecuali satu: Israel.
0 komentar:
Post a Comment